Sabtu, 04 Mei 2013

REVIEW3/ Kepastian Hukum Mutlak Bagi Pembangunan Ekonomi: BADAN HUKUM,BUMN,DAN PERLUNYA AMANDEMEN UU KEUANGAN NEGARA,UU BUMN DAN UU ANTI KORUPSI



Kepastian Hukum Mutlak Bagi Pembangunan Ekonomi :
BADAN HUKUM, BUMN, DAN PERLUNYA AMENDEMEN
UU KEUANGAN NEGARA, UU BUMN DAN UU ANTI
KORUPSI*
Oleh : Erman Rajagukguk
(Kapan Kerugian Transaksi BUMN Jadi Tindak Pidana Korupsi)
Nama: Fenita
NPM :22211809
Kelas :2EB09



3. Kapan Kerugian Transaksi BUMN Jadi Tindak Pidana Korupsi?
Satu transaksi saja dalam BUMN bisa dituduh korupsi bila tindakan itu
memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Namun perbuatan melawan Hukum Perdata
menurut Pasal 1365 KUH Perdata tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi seperti tercantum pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara… Selanjutnya Pasal 3 menyatakan setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara …

Menurut pendapat saya perbuatan melawan hukum dan penyalagunaan
wewenang dalam bidang perdata, misalnya pelanggaran Pasal 1365 KUH Perdata dan
menyalahgunakan wewenang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, tidak
merupakan tindak pidana. Pelakunya baru dijatuhi pidana bila ia terbukti melakukan
pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang tersebut karena menerima suap atau
melakukan tindak pidana lainnya. Tindakan itu baru menjadi tindak pidana korupsi
kalau pelakunya melanggar perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi
pidana.

United Nations Convenstion Against Corruption 2003 yang kita ratifikasi
dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, menyatakan ruang lingkup Konvensi ini
antara lain, perbuatan-perbuatan yang diklarifikasikan sebagai tindak pidana korupsi
yaitu penyuapan pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat asing dan
pejabat-pejabat organisasi internasional publik. Tindakan lainnya adalah penggelapan,
penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik,
memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri secara tidak
sah. Penyuapan disektor swasta, penggelapan kekayaan di sektor swasta, pencucian
hasil-hasil kejahatan, termasuk juga ruang lingkup Konvensi ini.

Tindak pidana korupsi bukan saja berlaku terhadap keuangan negara, tetapi
juga kepada keuangan siapa saja termasuk keuangan swasta. Guna mencegah korupsi,
masing-masing Negara Anggota wajib mengambil tindakan-tindakan sedemikian
sebagaimana mungkin diperlukan, sesuai dengan hukum dan peraturan internalnya
mengenai penyimpanan buku-buku dan catatan-catatan, pengungkapan-pengungkapan
laporan keuangan dan standar-standar akuntansi dan audit, untuk melarang tindakantindakan
berikut yang dilakukan untuk tujuan pelaksanaan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan sesuai dengan Konvensi ini :
(a) Penyelenggaraan akuntansi ekstra pembukuan;
(b) Penyelenggaraan transaksi-transaksi ekstra pembukuan atau yang tidak cukup jelas;
(c) Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata;
(d) Pemasukan kewajiban-kewajiban dengan identifikasi tujuan yang tidak benar;
(e) Penggunaan dokumen-dokumen palsu; dan
(f) Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih dahulu dari yang
direncanakan oleh undang-undang.10

Masing-masing Negara Anggota wajib untuk tidak mengizinkan pengurangan
pajak atas biaya-biaya yang merupakan korupsi. Yang disebut belakangan ini adalah
satu dari unsur utama dari pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan pasal-pasal 15 dan
16 Konvensi dan, sebagaimana layaknya, pengeluaran-pengeluaran lain yang terhimpun
dalam kelanjutan tindakan korup.11

Perbuatan melawan hukum perdata yang melanggar Pasal 1365 KUH Perdata
tidak bisa dituduhkan korupsi. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa
tindak pidana korupsi tidak hapus dengan dikembalikannya uang hasil korupsi (Pasal 4),
korupsi termasuk pemberi dan penerima suap (Pasal 5), menyuap hakim (Pasal 6 ayat
(1) huruf a), menyuap advokat (Pasal 6 ayat (1) huruf b), pemborong atau ahli
bangunan, dan penjual bahan bangunan yang melakukan perbuatan curang, pengawas
pembangunan yang melakukan perbuatan curang (Pasal 7), penggelapan uang atau surat berharga atau membiarkan orang lain melakukan penggelapan (Pasal 8), memalsukan
buku-buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan adminitrasi (Pasal 9). Pasal 10
menyatakan juga sebagai tindak pidana korupsi :
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Pasal 12 perbuatan sebagai tindak pidana korupsi juga apabila :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.

Kesimpulan
Untuk adanya kepastian hukum paling sedikit tiga undang-undang perlu
diamandemen. Pertama, Undang-Undang mengenai BUMN, dengan tegas harus
mencantumkan bahwa :
1. BUMN berbentuk Persero tunduk pada Undang-Undang BUMN, Undang-Undang
Perseroan Terbatas, dan Undang-Undang lainnya.
BUMN berbentuk Perum tunduk pada Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang
lainnya.
2. BUMN berbentuk Persero dan BUMN berbentuk Perum adalah Badan Hukum yang
mempunyai kekayaan sendiri, terpisah dari kekayaan pemilik, pengurusnya dan
pengawasnya.
3. Piutang BUMN bukan piutang Negara, utang BUMN bukan utang Negara.
4. Putusan Menteri BUMN sebagai RUPS BUMN bukan putusan pejabat Negara.
5. BUMN Persero menyebut Komisaris sebagai pengawas dan penasehat. BUMN
berbentuk Perum menyebut Dewan Pengawas sebagai pengawas dan penasehat.
6. Undang-Undang BUMN yang baru perlu mengatur hubungan BUMN Holding
Company dan anak-anak perusahaannya.

Kedua, Undang-Undang Anti Korupsi perlu dirobah, bahwa korupsi bukan
terhadap Keuangan Negara saja, tetapi uang siapa saja, termasuk uang Badan
Hukum BUMN. Dengan demikian KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian tetap dapat
memeriksa pejabat BUMN berkenaan dengan persangkaan korupsi.

Ketiga, Undang-Undang Keuangan Negara khususnya Pasal 2 g dan Pasal 2 i.
Pasal 2 g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sesuai dengan
Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus 2006,
perlu dihapus. Begitu juga Pasal 2 i yang menyatakan bahwa kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah adalah Keuangan
Negara, juga dihapus. Pasal ini juga tidak benar karena banyak perusahaan swasta
dalam penanaman modal mendapat fasilitas dari Pemerintah berupa insentif. Tidak
mungkin keuntungan mereka menjadi Keuangan Negara.

Dengan adanya perubahan ketiga undang-undang tersebut diharapkan adanya
kepastian hukum, dimana pembangunan ekonomi dan pemberantasan korupsi berjalan
terus.
 

REVIEW 2/ Kepastian Hukum Mutlak Bagi Pembangunan Ekonomi : BADAN HUKUM,BUMN, DAN PERLUNYA AMANDEMEN UU KEUANGAN NEGARA,UU,BUMN,DAN UU ANTI KORUPSI



Kepastian Hukum Mutlak Bagi Pembangunan Ekonomi :
BADAN HUKUM, BUMN, DAN PERLUNYA AMENDEMEN
UU KEUANGAN NEGARA, UU BUMN DAN UU ANTI
KORUPSI*
Oleh : Erman Rajagukguk
(Uang BUMN bukan uang Negara)
Nama: Fenita
NPM :22211809
Kelas :2EB09


Uang BUMN Bukan Uang Negara
Kekaburan pengertian Badan Hukum dan Keuangan Negara dimulai oleh
definisi keuangan negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).

Penjelasan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 ini tentang pengertian dan
ruang lingkup keuangan negara menyatakan :

“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah
dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di
atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang
pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.”
Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menyatakan :

“Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.”

Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas.
Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika
menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT. BRI (Persero)
Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14 Tahun 2005.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :

“Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN
adalah UU Perseroan dan UU BUMN.”

Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di
dalam Komisi XI DPR karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan PP No. 24
Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang
berpendapat, Pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) untuk membatalkan Pasal 2 ayat g UU Keuangan Negara.

Menteri Keuangan meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
dalam fatwanya No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus 2006,
menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN
Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dengan
demikian Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan
BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara.
Mahkamah Agung dalam fatwanya menyatakan :

1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara berbunyi:
“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan”

Pasat 4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN
merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud
dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara
pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun
pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan
yang sehat”;

2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang
khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari
kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya
pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN
melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;

3. Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menyebutkan :
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah
Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang
sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
Bahwa oleh karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara;

4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau
hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab
apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi
pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian
atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, P.T-P.T Negara,
Perusahan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persedian,
Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat
 (1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan
badan-badan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk
menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut
hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana
mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang
piutang BUMN dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut
tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undangundang
khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang No. 49 Prp.
Tahun 1960;

5. Begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun
2003 yang berbunyi :
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :
“g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah.”
yang dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN
maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;

Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah, kata Mahkamah Agung R.I.

Menurut pendapat saya, Pasal 2i Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara yang menyatakan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah juga termasuk Keuangan Negara
adalah tidak tepat. Misalnya, perusahaan penanaman modal yang mendapat fasilitas dari
Pemerintah, menurut pengertian ini kekayaan mereka menjadi kekayaan negara. Apakah
benar begitu?

b. BUMN Bisa Rugi (Business Judgment Rule)
Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas menyatakan, bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.

Penjelasan Pasal 97 ayat (5) huruf d menyebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian”
termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan
pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat
Direksi.

Selanjutnya Pasal 114 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas menyatakan, bahwa anggota Dewan Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
dapat membuktikan:
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal-pasal tersebut di atas dikenal dengan nama Business Judgment Rule.

Sebagai perbandingan, dalam Undang-Undang Corporation di Amerika
Serikat, Negara Bagian di Amerika mengatur Business Judgment Rule ini sedikit
berbeda-beda. Negara Bagian Delaware misalnya, tidak ada formulasi yang tunggal
hampir dua abad tentang Business Judgment Rule ini. Tetapi, sejak 1984 formulasi
Delaware kemudian amat terkenal. Delaware standard bergeser beberapa tahun
belakangan ini, dimana sejak 1984 Mahkamah Agung Delaware secara konsisten
menetapkan karakteristik Business Judgment Rule tersebut sebagai :

Di yuridiksi lain, perlindungan yang dapat dicapai oleh pejabat perusahaan dan
direktur dengan Business Judgment Rule mungkin tidak begitu kuat. Sebagai contoh,
Amrican Law Institute mempunyai prinsip Corporate Governance yang menyatakan
bahwa direktur yang membuat keputusan bisnis memenuhi tugas kehati-hatiannya
terhadap perusahaan hanya jika ia “is informed with respect to the subject of the
business judgment to the extent he reasonably believes to be appreciate under the
circumstances” dan dia “rationally believes that the business judgment is in the best
interest of the corporation”.

Dalam bayangan perusahaan-perusahaan yang baru-baru ini bangkrut seperti
Enron, Worldcom, Westars karena berbagai skandal, para pemegang saham dan
pengadilan sepertinya lebih suka para direktur menjalankan standard yang tinggi.
Skandal perusahaan-perusahaan tersebut adalah kekecualian, masih banyak direktur
yang jujur.

Unsur-unsur Business Judgment Rule, prakondisi yang harus dipenuhi sebelum
direktur dapat memakainya sebagai pembelaan adalah :
1. keputusan bisnis;
2. tidak berkepentingan dan mandiri (independent);
3. due care (sikap berhati-hati);
4. good faith (itikad baik);
5. no abuse of direction (tidak melanggar kebijaksanaan).

Pihak yang menentang tingkah laku direktur harus membuktikan bahwa
direktur melanggar prinsip kehati-hatian (duty of care) dan hanya perlu membuktikan
salah satu unsur tidak ada.2

Direktur perusahaan bertanggung jawab mengarahkan pengurus dalam
kegiatan perusahaan sehari-hari. Tujuan ini adalah umum yang integral didalam
menjalankan perusahaan secara efektif dan menguntungkan. Dalam banyak keadaan
atau situasi, para direktur menghadapi keputusan yang mereka sendiri tidak intimately
informed about, dan mempunyai keterbatasan. Namun keputusan harus diambil dalam
rangka bisnis menjaga pasar dan mengatasi kompetisi. Dalam situasi tersebut,
 direktur sepertinya terpanggil untuk mementingkan pemegang saham Perusahaan dan tujuan
membuat putusan yang mementingkan perusahaan. Direktur yang bagus pada umumnya
seorang yang dapat mempertimbangkan keperluan bisnis disatu pihak, risiko yang akan
dihadapi dalam usaha tersebut dipihak lain. Bagaimanapun, harus terdapat kepentingan
dari dua kepentingan tersebut, menciptakan strategi jangka panjang untuk suksesnya
perusahaan. Jika direktur gagal menggunakan persyaratan dalam penilaian yang patut
untuk kepentingan terbaik, dia bisa mendapat gugatan derivative dari pemegang saham
yang tak beruntung.

c. Kapan Kerugian PT BUMN Dihitung
Pada prinsipnya laba atau rugi perusahaan dihitung setiap tahun, bukan setiap
transaksi atau setiap bulan atau setiap triwulan bahkan bukan setiap semester. Dengan
demikian laba atau rugi perusahaan dihitung dari kumulasi seluruh transaksi.
Kemungkinan ada transaksi yang merugi tetapi kerugian tersebut dapat diatasi dengan
adanya transaksi yang menguntungkan atau membawa laba kepada perusahaan. Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:

Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun
buku Perseroan berakhir.

Selanjutnya ayat (2) menyebutkan laporan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya, antara lain :

Laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku
yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan
laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan
perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut.

Kemudian ayat (4) menyatakan :
Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi Perseroan yang wajib diaudit, harus
disampaikan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Putusan Mahkamah Agung berikut ini membuktikan bahwa laba atau rugi
perusahaan tersebut dihitung dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan setelah
menjalani audit.

Dalam Bambang Riyadi Sugomo v. Handi Sujanto, No. 2743 K/Pdt/1995
(1996), Bambang Riyadi Sugomo selaku Direktur Utama PT. Pintalanmas Internusa
menggugat Hadi Sujanto seorang pengusaha di Jakarta dengan alasan-alasan sebagai
berikut :

Bahwa Penggugat yang akan/sedang membangun Pabrik Pemintalan/Spinning
telah memberikan kepercayaan kepada Tergugat untuk menjalankan atau melaksanakan
kegiataan perusahaan sehari-harinya mengingat Tergugat sebagai salah seorang
Komisaris PT. Pintalanmas Internusa.

Kepercayaan yang diberikan kepada Tergugat meliputi pembangunan Pabrik
Pemintalan/Spining yang berlokasi di Desa Cikande Serang, Jawa Barat, melakukan
pembelian atau pemesanan Gen Set, membangun jalan, membangun rumah, membuat
kontrak-kontrak, dan mengupayakan mendapat fasilitas kredit dari Bank. Ternyata
kepercayaan yang diberikan Penggugat, oleh Tergugat telah disalah gunakan untuk
kepentingan pribadi atas fasilitas kredit Bank Dagang Negara dengan cara mentransfer
secara berturut-turut ke Rekening AC No. 82.412.6, pada Bank Central Asia (BCA)
Capem Tomang Toll, Jakarta Barat atas nama Handi Sujanto. Jumlah yang ditransfer
tersebut adalah sebesar Rp. 880.910.000,- dan Rp. 1.219.089.200,-. Penggugat
menyangka Tergugat memalsukan dan menaikan harga kontrak sehingga Penggugat
dirugikan berturut-turut Rp. 1.575.000.000,-, Rp. 319.125.000,-, Rp. 31.620.000,- dan
Rp. 149.230.000,-.

Kemudian atas pembelian/pemesanan 12 set Gen Set Terggugat telah
melakukan manipulasi dengan menaikan harga pembelian sehingga Penggugat
dirugikan US $ 1.191.864. Akibat perbuatan Tergugat secara keseluruhan Penggugat
telah dirugikan Rp. 4.174.974.200,- atau US $ 1.191.864.

Penggugat menuntut kerugian itu dikembalikan ditambah bunganya sejak tahun
1992 sampai lunas dibayar. Atas perbuatan Tergugat juga, Penggugat mendalilkan
menderita kerugian karena macetnya pembangunan pabrik pemintalan, sebesar Rp. 5
milyar berdasarkan Pasal 1365 BW. Penggugat meletakan sita jaminan atas tanah dan
bangunan Tergugat di Cempaka Putih Timur dan tanah bangunan gedung bertingkat di Tomang, Jakarta Barat. Begitu juga tanah dan rumah di Meruya Hilir, di Jalan Kayu
Putih 2 dan Kampung Babakan Jagakarsa.

Tergugat menolak semua dali-dalil Penggugat dalam eksepsinya tergugat
menyatakan bahwa terlepas dari benar tidaknya isi gugatan sudah mengenai masalah
intern antara Direktur Utama dengan Komisaris dalam suatu perseroan terbatas yang
sama. Masalah perbedaan paham antara Penggugat dengan Tergugat harus dibawa
kedalam Rapat Umum Pemegang Saham dan bukan kepada Pengadilan. Adanya untung
rugi suatu Perseroan Terbatas harus dibuktikan dengan adanya Neraca dan perhitungan
laba rugi yang telah disetujui dan disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Karenanya Tergugat berpendapat gugatan ini adalah mengenai soal intern perusahaan.

Dalam pokok perkara Tergugat dengan tegas menolak dalil-dalil Penggugat.
Tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum, sebab sesungguhnya Terggugat
adalah pemilik perseroan terbatas PT. Pintalanmas Internusa tersebut. Penggugat harus
membuktikan dalil-dalilnya itu sesuai dengan Pasal 163 HIR.

Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya menolak eksepsi Terggugat, karena
Tergugat digugat sebagai pribadi bukannya sebagai Komisari PT. Pintalanmas
Internusa. Dalam pokok perkara Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya antara lain
menyatakan bahwa Tergugat Handi Sujanto tidak ikut serta melakukan pekerjaan, tetapi
pekerjaan itu dilakukan oleh Yuwono Widarto selaku PIHAK KEDUA sesuai kontrak.

Pengadilan berpendapat bahwa untuk adanya kejelasan pertanggung jawaban
secara hukum tersebut, Yuwono Widarto selaku pihak dalam surat kontrak dan selaku
penerima pekerjaan dari PT. Pintalanmas Internusa, harus diikut sertakan sebagai
subyek hukum (Pihak Tergugat II) dalam surat gugatan. Oleh karenanya Pengadilan
Negeri memutuskan surat gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding menerima permohonan
banding Penggugat dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pengadilan
Tinggi mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan dinyatakan Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat. Menghukum
Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang sejumlah Rp. 4.174.974.200,-
ditambah bunga sebesar 6% setahun terhitung bulan Februari 1991 sampai lunas dibayar
seketika dan sekaligus. Kemudian menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat uang sebesar US $ 1.191.684., ditambah bunga sebesar 6% setahun terhitung bulan Juli
1992 sampai lunas dibayar dengan seketika dan sekaligus.

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi telah mendengar keberatan yang
diajukan oleh pemohon kasasi dalam memori kasasinya. Pengadilan Tinggi telah salah
dan melanggar hukum pembuktian karena Pengadilan Tinggi telah keliru menilai bukti
P.1 s/d P.12 dimana bukti-bukti tersebut nama pemohon kasasi tidak tercantum dan juga
bukan merupakan pihak-pihak dan pemohon kasasi menolak dengan tegas
pertimbangan-pertimbangan Pengadilan Tinggi terhadap bukti-bukti tersebut dan juga
keterangan seorang saksi saja (saksi Azhar Zainuri) telah ditolak oleh pemohon kasasi
karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang lain. Bukti P.12 bukan bukti pembukuan
pribadi.

Pemohon kasasi adalah pemilik perusahaan PT. Pintalanmas Internusa dengan
seluruh kekayaannya baik tanah maupun bangunan untuk kantor PT. Pintalanmas
Internusa adalah milik pemohon kasasi sehingga pertimbangan Pengadilan Tinggi
adalah tidak benar karena sama sekali tidak mempertimbangkan sertifikat tanah dan
bangunan tempat PT. Pintalanmas Internusa sehingga tuduhan mentransfer uang ke
rekening pribadi pemohon kasasi sama sekali tidak terbukti.

Pertimbangan Pengadilan Tinggi mengenai bukti P.3 s/d P.10 adalah
menyalahi pasal 1340 dan pasal 1365 KUH Perdata karena dalam bukti-bukti tersebut
jelas-jelas disebut sebagai pihak adalah Drs. Fien Subroto sebagai pihak kesatu dan Ir.
Yuwono Widarto sebagai pihak kedua sehingga seharusnya yang digugat adalah pihakpihak
yang tercantum namanya dalam bukti kontrak P.3 s/d P.10, sedangkan pemohon
kasasi sama sekali tidak ikut menandatangani kontrak tersebut dan pemohon kasasi
tidak dapat dimintakan pertanggungan jawab.

Pertimbangan Pengadilan Negeri sudah tepat karena subyek hukum dalam
gugatan termohon kasasi kurang sehingga gugatan termohon kasasi harus dinyatakan
tidak dapat diterima dan mohon periksa yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI No.
938 K/Sip/1971 tanggal 4 Oktober 1972.

Putusan Pengadilan Tinggi bertentangan dengan pasal 1905 KUH Perdata dan
pasal 169 HIR karena seorang saksi yaitu Ir. Yuwono Widarto saja bukan saksi “Unus
Testis Nullus Testis” sehingga berdasarkan hal tersebut diatas tidak ada bukti bahwa
pemohon kasasi sebanyak Rp. 2.074.975,- dan juga dari mana asalnya
 bunga yang menurut Undang-Undang 6%/tahun terhitung Februari 1991 sampai dibayar lunas
karena tanggal kontrak bukti P.3 s/d P.10 bermacam-macam tanggalnya demikian juga
pemohon kasasi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian US $ 1.191.864,-
karena pemohon kasasi tidak pernah menandatangani bukti P.11a s/d P.11f sehingga
berdasarkan hal tersebut diatas nyatalah bahwa pemohon kasasi tidak melakukan
perbuatan melawan hukum.

Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang hanya berdasarkan keterangan seorang
saksi saja (saksi Iwan M) adalah bertentangan dengan pasal 1905 KUH Perdata dan 169
HIR karena keterangan saksi tersebut yang mengatakan bahwa Pengadilan Tinggi
Pacific Asia di Singapore adalah milik pemohon kasasi ternyata di persidangan
Pengadilan Negeri sama sekali tidak terbukti dan lagi kepemilikan suatu Pengadilan
Tinggi yang merupakan suatu badan hukum maka kekayaan dan tanggungjawabnya
harus terpisah dari kekayaan dan tanggung jawab pribadi pemegang sahamnya.

Mengenai sita jaminan pemohon kasasi merasakan keberatan atas putusan
Pengadilan Tinggi karena sudah terbukti dipersidangan Pengadilan Negeri bahwa
pemohon kasasi sama sekali tidak melakukan perbuatan melawan hukum atau
merugikan termohon kasasi apalagi barang-barang bergerak maupun tidak bergerak
tersebut bukanlah milik pemohon kasasi.

Terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut di atas menurut Pendapat
Mahkamah Agung Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum dalam
pertimbangan/alasan sebagai berikut.

Pertama, persoalan untung rugi suatu perseroan terbatas haruslah diputuskan
dan disahkan terlebih dahulu dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan
Mahkamah Agung juga berpendapat agar hasil Neraca untung rugi Perseroan Terbatas
haruslah diaudit terlebih dahulu oleh seorang Akuntan Publik sebagai pihak ketiga yang
netral sehingga Penggugat belum waktunya untuk mengajukan gugatannya ke
Pengadilan.

Kedua, Mahkamah Agung tidak sependapat denga Judex Factie dalam eksepsi
karena dalam posita gugatan disebutkan bahwa tergugat diberi oleh Penggugat
kepercayaan sebagai komisaris PT. Pintalanmas Internusa sehingga segala sesuatu yang
menyangkut masalah PT. Pintalanmas Internusa harus diputus dalam rapat pemegang
saham, karena persoalan tersebut adalah masalah intern perusahaan.
Perhitungan laba rugi sementara mungkin dapat juga dilakukan sebelum tahun
buku berakhir dalam rangka perseroan ingin membagikan dividen interim sebelum
tahun buku perseroan berakhir. Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Perseroan Terbatas menyatakan, bahwa Perseroan dapat membagikan dividen interim
sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar
Perseroan. Ayat (2) menyebutkan, bahwa pembagian dividen interim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak
menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan
wajib. Selanjutnya ayat (3) menyatakan, bahwa Pembagian dividen interim
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu atau menyebabkan
Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan
Perseroan. Kemudian ayat (4) menyebutkan juga, bahwa pembagian dividen interim
ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan
Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3). Dalam pada itu
ayat (5) menggambarkan resiko apabila perseroan pada akhir tahun buku ternyata
merugi dimana dividen interim harus dikembalikan. Ayat (5) pasal ini menyatakan,
bahwa dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian,
dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada
Perseroan. Penjelasan ayat (5) memberikan contoh dividen interim yang harus
dikebalikan tersebut. Dividen interim yang telah dibagikan sebesar Rp. 1.000,00 (seribu
rupiah) per saham. Perseroan menderita kerugian dan tidak mempunyai saldo laba
positif sehingga tidak ada dividen yang dibagikan. Oleh karena itu, yang harus
dikembalikan adalah Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) per saham. Seandainya Perseroan
menderita kerugian, tetapi Perseroan mempunyai laba ditahan (retained earning) dan
saldo laba positif hingga, misalnya RUPS menetapkan dividen sebesar Rp. 200,00 (dua
ratus rupiah) per saham. Oleh karena, itu saham yang harus dikembalikan adalah Rp.
1000,00 (seribu rupiah) dikurangi Rp. 200,00 (dua ratus rupiah) berarti Rp. 800,00
(delapan ratus rupiah). Ayat (6) sebagai ayat terakhir menyatakan, bahwa Direksi dan
Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan,
dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).

Didalam praktek tuduhan korupsi ditujukan kepada satu transaksi. Transaksi itu
dikatakan merugikan keuangan BUMN karena terlalu tinggi atau terlalu mahal,
sehingga dituduhkan adanya mark up. Uang BUMN uang Negara, merugikan BUMN
merugikan Negara, dengan demikian terjadi korupsi. Struktur pemikiran demikian ini
menimbulkan ketidakpastian hukum yang menakutkan pelaku ekonomi.

Putusan Mahkamah Agung berikut ini menarik untuk diperhatikan. Dalam
Republik Indonesia v. Sutrisno No. 70/Pid.B/2010/PN.Srg., terdakwa dituduh
melakukan tindak pidana korupsi karena telah merugikan keuangan negara dan
memperkaya orang lain. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut.

Terdakwa sebagai Direktur PT. Krakatau Steel (Persero) telah menyewa
kendaraan sedan Toyota Soluna dan Suzuki Baleno sebanyak 40 unit pada tahun 1999
yang akan digunakan oleh BUMN tersebut untuk selama 60 bulan, melalui penunjukkan
langsung. Total biaya sewa kendaraan tersebut dianggap Jaksa Penuntut Umum sebagai
kemahalan dan merugikan keuangan BUMN tersebut. Karena keuangan BUMN adalah
keuangan negara maka merugikan BUMN adalah merugikan negara. Padahal laporan
tahunan BUMN yang bersangkutan pada waktu itu adalah menguntungkan. Perbuatan
terdakwa tersebut diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

Menurut analisa saya, penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa
dibolehkan karena keadaan yang mendesak atau keadaan khusus. Melanggar suatu
keputusan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa bukan tindak pidana, hanya
merupakan pelanggaran adminitratif. Perbuatan itu baru menjadi tindak pidana korupsi
kalau terbukti pelakunya menerima suap.

Suatu transaksi mungkin harganya menjadi tinggi karena didalam harga
penjualannya terdapat atau diperhitungkan apa yang disebut “trasaction cost”.

Majelis Hakim tingkat pertama dalam perkara ini dalam putusannya
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Begitu juga dalam tingkat kasasi,
Mahkamah Agung membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.

Dalam perkara Republik Indonesia v. TG, Terdakwa dituduh melakukan atau
turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Duduk perkaranya adalah MS selaku Kepala Seksi Akseptasi dan
Produksi Bagian L/C Divisi Penjaminan PT. AKI menerima permohonan penjaminan
atau surat kredit berdokumen yang diajukan oleh RS untuk pembelian sejumlah rotan.
RS mencantumkan jaminan beberapa bidang tanah. MS yang sebelumnya telah
mengenal RS membuat disposisi atas surat tersebut. Atas jaminan tersebut tidak pernah
dilakukan pengecekan baik mengenai tanah yang dijaminkan maupun pabrik
pengelohan rotan. Hanya berdasarkan kepada pengecekan lapangan yang tidak akurat
HH permohonan jaminan itu disetujui. Ternyata RS yang membeli rotan dan yang
meminta jaminan tidak membayar pembelian rotan tersebut. Oleh karena itu PT. AKI
harus membayarnya.

Selanjutnya PT. AKI berniat untuk mengeksekusi jaminan berupa tanah-tanah,
tetapi ternyata tanah-tanah tersebut milik orang lain. RS telah menghilang. Terdakwa
dituduh karenanya merugikan perusahaan sebesar dua milyar lebih. Karena merugikan
perusahaan yang merupakan PT Persero, berarti merugikan negara. Padahal laporan PT.
AKI pada tahun itu mendapatkan laba.

Saya berpendapat perkara ini bisa menjadi perkara korupsi kalau ternyata TG
menerima suap dari RS. Kalau tidak menerima suap ia hanya dikenakan tanggung jawab
perdata yaitu bertanggung jawab pribadi karena telah lalai menjalankan tugasnya.

Dalam perkara lain Republik Indonesia v. OKW (2010), Republik Indonesia
v. AA (2010), dan Republik Indonesia v. S (2010). Ketiga perkara tersebut adalah
berasal dari suatu peristiwa rusaknya rotor dari GTG milik PT. KDM pada bulan
Pebruari 2004. Atas bantuan GE selaku pabrikan ditunjukklah CV. SJU selaku agen GE
di Indonesia untuk mengatasi hal tersebut. Para Terdakwa dituduh melakukan korupsi
karena adanya kerugian keuangan negara pada transaksi tersebut, didasarkan kepada
alasan kemahalan membeli rotor. PT. KDM adalah anak perusahaan PT. PKT, dan PT.
PKT adalah anak perusahaan PT. Pusri (Persero). Dakwaannya adalah “menimbulkan
kerugian keuangan negara, karena perbuatan terdakwa menguntungkan PT. KDM”.
Dalam perkara ini bekas Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim anak perusahaan
dari PT. Pusri (Persero) didakwa telah melakukan penunjukan langsung dalam pembelian rotor untuk pembangkit tenaga listrik. Duduk perkaranya bermula dari
generator listrik dari PT. Kaltim Daya Mandiri (anak perusahaan PT. Pupuk Kaltim)
mengalami kerusakan pada Gas Turbin Generatornya. PT. Kaltim Daya Mandiri
mengajukan permohonan untuk meminjam rotor cadangan (spare) milik PT. Pupuk
Kaltim dan PT. Pupuk Kaltim bersedia meminjamkan rotor yang sedang terpasang di
Gas Turbin Generator Kaltim II milik PT. Pupuk Kaltim dengan sistem sewa yang
selanjutnya dipasang di Gas Turbin PT. Kaltim Daya Mandiri.

Selanjutnya untuk memperbaiki rotor tersebut saksi Ir. AA selaku Ketua
Panitia Lelang A mengajukan surat kepada General Electric International Inc.
(perwakilan Indonesia) untuk menawarkan pekerjaan perbaikan tersebut dengan surat
Nomor : 2278-SDJI-T4-0208 tanggal 28 Juli 2004, namun dijawab oleh General
Electric Internasional Operations Company Inc. dengan Letter of Support tanggal 30
Juli 2004 yang pada intinya menyerahkan perbaikan rotor kepada CV. Sumi Jaya Utama
dan General Electric Internasional Operations Company Inc. akan menyediakan spare
part, repair, field engineer and technical engineering untuk perbaikan rotor tersebut,
karena CV. Sumi Jaya Utama telah memperbaiki stator (bagian tidak bergerak) dari Gas
Turbin Generator.

Kemudian berdasarkan Letter of Support tersebut Panitia Lelang A menunjuk
langsung CV. Sumi Jaya Utama untuk memperbaiki rotor tersebut sesuai Order
Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal 06 Mei 2004. Untuk perbaikan rotor
tersebut, kemudian CV. Sumi Jaya Utama membawa rotor tersebut ke General Electric
Keppel di Singapura dan memperoleh hasil yaitu biaya perbaikan rotor sebesar USD
2,678,098.30 dengan delivery time 30 minggu sesuai dengan surat penawaran harga dari
saudara M selaku Direktur CV. Sumi Jaya Utama kepada Kepala Biro Pengadaan yakni
saksi Ir. AA, SPPH Nomor : 2278-SJD1-T4-0208 tanggal 02 Agustus 2004 mengenai
spare parts rotor.

Atas balasan surat dari CV. Sumi Jaya Utama tersebut Kepala Biro Pengadaan
PT. Pupuk Kaltim yaitu saksi Ir. AA membuat surat kepada Direktur Teknik yaitu saksi
Ir. RD, IPM Nomor : 1244/DAAN/VIII/2004 tanggal 03 Agustus 2004 untuk
menginformasikan :
1. Harga perbaikan rotor tersebut ex work Singpore senilai US$ 2,678,098.30 dengan
delivery time 30 minggu.
2. Sedangkan untuk rotor baru senilai US$ 3,900,000 dengan delivery time 2 bulan.
Oleh karena harga rotor Assembly for Gas Turbine Generator (GTG-KDM)
lebih dari Rp. 500.000.000,-, maka saksi Ir. AA menyampaikan penawaran tersebut
kepada saksi Ir. RD, selaku Direktur Tehnik dan selanjutnya Ir. RD meneruskan
penawaran tersebut kepada terdakwa Drs. H. OKW, selaku Direktur Utama PT. Pupuk
Kaltim untuk mendapatkan persetujuannya selaku pejabat yang memiliki kewenangan
dalam menentukan pembelian barang diatas Rp. 500.000.000,-. Kemudian terdakwa
Drs. H. OKW. selaku Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim menyetujui usulan yang
disampaikan oleh saksi Ir. RD dan meminta penurunan harga serta meminta penawaran
harga untuk pembelian dengan cara trade in (tukar tambah).

Atas persetujuan terdakwa Drs. H. OKW selanjutnya saksi Ir. AA membuat
surat Nomor : 169/Daan/VIII/04 tentang Penurunan dan Diskon Pembelian Rotor Baru
dan dibalas oleh CV. Sumi Jaya Utama dengan suratnya Nomor : 080/SJU-PKT/LET-
2004 tanggal 5 Agustus 2004 yang menyatakan bahwa CV. Sumi Jaya Utama bisa
memberikan diskon harga sebesar 3% dari harga barang, yang oleh saksi Ir. AA surat
tersebut disampaikan kepada Kepala Kompartemen Pemeliharaan sesuai dengan surat
pengantarnya Nomor: 1260/DAAN/VIII.04 tanggal 05 Agustus 2004 dan meminta
harga rotor apabila dilakukan pembelian rotor sesuai dengan cara trade in (tukar
tambah).

Dengan adanya surat dari CV. Sumi Jaya Utama tentang diskon tersebut, saksi
Ir. AA menyurati kembali CV. Sumi Jaya Utama dengan surat Nomor :
169/Daan/VIII.04 tanggal 12 Agustus 2004 yang pada pokoknya meminta masukan
untuk harga pembelian rotor baru (brand new), dan pembelian rotor baru (brand new)
dengan sistem tukar tambah. Atas surat tersebut CV. Sumi Jaya Utama memberikan
surat balasan Nomor : 082/SJU-PKT/LET-2004 tanggal 14 Agustus 2004 yaitu
pembelian rotor baru (band new) yaitu senilai USD 3,850,000,- dan pembeelian rotor
baru (brand new) dengan sistem tukar tambah senilai USD 3,640,000.00.
Selanjutnya dibuat Order Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal
06Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal 06 Mei 2004 untuk pembelian Rotor
Assembly for Gas Turbine Generator (GTG-KDM) kondisi brand new.
Kemudian CV. Sumi Jaya Utama menghubungi PT. Imeco Inter Sarana selaku
distributor resmi spare part produk asli General Elctric di Indonesia untuk
 proses pengadaan rotor baru tersebut, dimana rotor rotor yang diadakan oleh CV. Sumi Jaya
Utama tersebut berasal dari PT. General Electric Indonesia selaku produsen dan General
Electric menjual rotor baru eks work Eropa tersebut kepada PT. Imeco Inter Sarana
yang merupakan distributor General Electric Indonesia dengan harga US$ 2,396,000.00
selanjutnya PT. Imeco Inter Sarana menawarkan dan menjual rotor baru eks work Eropa
kepada CV. Sumi Jaya Utama dengan harga US$ 2,520,000.00,- Franco Jakarta,
sedangkan CV. Sumi Jaya Utama menjual rotor baru eks work Eropa tersebut kepada
PT. Pupuk Kaltim Tbk. Dengan harga US$ 3,640,000.00,-.

Saya didengar keterangannya sebagai ahli dalam perkara ini di Pengadilan
Negeri Bontang. Saya menerangkan antara lain, bahwa penunjukan langsung oleh suatu
perusahaan adalah diperbolehkan dalam keadaan tertentu, keadaan khusu, ataupun
dalam keadaan darurat yang tidak bisa ditunda pengadaan barang/jasanya. Dalam hal ini
selalu diperhitungkan kerugian yang lebih besar akan terjadi bila penunjukan langsung
tidak diadakan. Begitu juga penunjukan langsung bisa diadakan dengan alasan teknologi
yang diperlukan. Saya menerangkan pula bahwa PT. Pupuk Kaltim bukanlah BUMN,
begitu juga anak perusahaan PT. Pupuk Kaltim yaitu PT. Karya Daya Mandiri.
Keuangan perusahaan-perusahaan tersebut bukanlah keuangan negara. Begitu juga
keuangan PT. Pusri (Persero) sebagai BUMN bukanlah keuangan negara. Pendapat saya
ini didasarkan kepada doktrin Badan Hukum, Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan
Fatwa Mahkamah Agung.

Jaksa Penuntut Umum menyatakan dalam tuntutannya, bahwa terdakwa telah
menguntungkan PT. Karya Daya Mandiri, dengan demikian telah merugikan PT. Pupuk
Kaltim, selanjutnya merugikan PT. Pusri (Persero), karena keuangan PT. Pusri (Persero)
adalah keuangan negara, maka perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara, berarti
melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Menurut pendapat saya, anak perusahaan BUMN, bukanlah BUMN melainkan
Perseroan Terbatas (PT) biasa. Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, melainkan
keuangan BUMN itu sendiri sebagai Badan Hukum. Keuangan negara adalah pajak
yang dibayar BUMN dan dividen yang diterima negara sebagai pemagang saham.
Keuangan anak perusahaan BUMN bukanlah keuangan negara. Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bontang dalam perkara ini dalam putusannya membebaskan para
terdakwa dari segala tuntutan.