Kepastian Hukum Mutlak Bagi Pembangunan Ekonomi :
BADAN HUKUM, BUMN, DAN PERLUNYA AMENDEMEN
UU KEUANGAN NEGARA, UU BUMN DAN UU ANTI
KORUPSI*
Oleh
: Erman Rajagukguk
(Kapan
Kerugian Transaksi BUMN Jadi Tindak Pidana Korupsi)
Nama:
Fenita
NPM
:22211809
Kelas
:2EB09
3.
Kapan Kerugian Transaksi BUMN Jadi Tindak Pidana Korupsi?
Satu
transaksi saja dalam BUMN bisa dituduh korupsi bila tindakan itu
memenuhi
unsur tindak pidana korupsi. Namun perbuatan melawan Hukum Perdata
menurut
Pasal 1365 KUH Perdata tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi.
Unsur-unsur
tindak pidana korupsi seperti tercantum pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal
ini menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara…
Selanjutnya Pasal 3 menyatakan setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana
penjara …
Menurut
pendapat saya perbuatan melawan hukum dan penyalagunaan
wewenang
dalam bidang perdata, misalnya pelanggaran Pasal 1365 KUH Perdata dan
menyalahgunakan
wewenang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, tidak
merupakan
tindak pidana. Pelakunya baru dijatuhi pidana bila ia terbukti melakukan
pelanggaran
atau penyalahgunaan wewenang tersebut karena menerima suap atau
melakukan
tindak pidana lainnya. Tindakan itu baru menjadi tindak pidana korupsi
kalau
pelakunya melanggar perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi
pidana.
United
Nations Convenstion Against Corruption 2003 yang kita ratifikasi
dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, menyatakan ruang lingkup Konvensi ini
antara
lain, perbuatan-perbuatan yang diklarifikasikan sebagai tindak pidana korupsi
yaitu
penyuapan pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat asing dan
pejabat-pejabat
organisasi internasional publik. Tindakan lainnya adalah penggelapan,
penyalahgunaan
atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik,
memperdagangkan
pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri secara tidak
sah.
Penyuapan disektor swasta, penggelapan kekayaan di sektor swasta, pencucian
hasil-hasil kejahatan,
termasuk juga ruang lingkup Konvensi ini.
Tindak
pidana korupsi bukan saja berlaku terhadap keuangan negara, tetapi
juga
kepada keuangan siapa saja termasuk keuangan swasta. Guna mencegah korupsi,
masing-masing
Negara Anggota wajib mengambil tindakan-tindakan sedemikian
sebagaimana
mungkin diperlukan, sesuai dengan hukum dan peraturan internalnya
mengenai
penyimpanan buku-buku dan catatan-catatan, pengungkapan-pengungkapan
laporan
keuangan dan standar-standar akuntansi dan audit, untuk melarang
tindakantindakan
berikut
yang dilakukan untuk tujuan pelaksanaan pelanggaran-pelanggaran
yang
dilakukan sesuai dengan Konvensi ini :
(a)
Penyelenggaraan akuntansi ekstra pembukuan;
(b)
Penyelenggaraan transaksi-transaksi ekstra pembukuan atau yang tidak cukup
jelas;
(c)
Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata;
(d)
Pemasukan kewajiban-kewajiban dengan identifikasi tujuan yang tidak benar;
(e)
Penggunaan dokumen-dokumen palsu; dan
(f)
Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih dahulu dari yang
direncanakan
oleh undang-undang.10
Masing-masing
Negara Anggota wajib untuk tidak mengizinkan pengurangan
pajak
atas biaya-biaya yang merupakan korupsi. Yang disebut belakangan ini adalah
satu
dari unsur utama dari pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan pasal-pasal 15
dan
16
Konvensi dan, sebagaimana layaknya, pengeluaran-pengeluaran lain yang terhimpun
dalam
kelanjutan tindakan korup.11
Perbuatan
melawan hukum perdata yang melanggar Pasal 1365 KUH Perdata
tidak
bisa dituduhkan korupsi. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan tiap perbuatan
melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No.
31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa
tindak
pidana korupsi tidak hapus dengan dikembalikannya uang hasil korupsi (Pasal 4),
korupsi
termasuk pemberi dan penerima suap (Pasal 5), menyuap hakim (Pasal 6 ayat
(1)
huruf a), menyuap advokat (Pasal 6 ayat (1) huruf b), pemborong atau ahli
bangunan,
dan penjual bahan bangunan yang melakukan perbuatan curang, pengawas
pembangunan
yang melakukan perbuatan curang (Pasal 7), penggelapan uang atau surat berharga
atau membiarkan orang lain melakukan penggelapan (Pasal 8), memalsukan
buku-buku
atau daftar khusus untuk pemeriksaan adminitrasi (Pasal 9). Pasal 10
menyatakan
juga sebagai tindak pidana korupsi :
a.
menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang,
akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di
muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b.
membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c.
membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal
12 perbuatan sebagai tindak pidana korupsi juga apabila :
a.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal
diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan
dengan kewajibannya;
b.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui
atau
patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan
dengan kewajibannya;
c.
hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa
hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan
kepadanya untuk diadili;
d.
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
f.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta,
menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara
negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri
atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta
atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan
utang
kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah
menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan
peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan;
atau
i.
pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada
saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus
atau mengawasinya.
Kesimpulan
Untuk
adanya kepastian hukum paling sedikit tiga undang-undang perlu
diamandemen.
Pertama, Undang-Undang mengenai BUMN, dengan tegas harus
mencantumkan
bahwa :
1.
BUMN berbentuk Persero tunduk pada Undang-Undang BUMN, Undang-Undang
Perseroan
Terbatas, dan Undang-Undang lainnya.
BUMN
berbentuk Perum tunduk pada Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang
lainnya.
2.
BUMN berbentuk Persero dan BUMN berbentuk Perum adalah Badan Hukum yang
mempunyai
kekayaan sendiri, terpisah dari kekayaan pemilik, pengurusnya dan
pengawasnya.
3.
Piutang BUMN bukan piutang Negara, utang BUMN bukan utang Negara.
4. Putusan Menteri BUMN
sebagai RUPS BUMN bukan putusan pejabat Negara.
5.
BUMN Persero menyebut Komisaris sebagai pengawas dan penasehat. BUMN
berbentuk
Perum menyebut Dewan Pengawas sebagai pengawas dan penasehat.
6.
Undang-Undang BUMN yang baru perlu mengatur hubungan BUMN Holding
Company
dan anak-anak perusahaannya.
Kedua,
Undang-Undang Anti Korupsi perlu dirobah, bahwa korupsi bukan
terhadap
Keuangan Negara saja, tetapi uang siapa saja, termasuk uang
Badan
Hukum
BUMN.
Dengan demikian KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian tetap dapat
memeriksa
pejabat BUMN berkenaan dengan persangkaan korupsi.
Ketiga,
Undang-Undang Keuangan Negara khususnya Pasal 2 g dan Pasal 2 i.
Pasal
2 g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sesuai dengan
Fatwa
Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus 2006,
perlu
dihapus. Begitu juga Pasal 2 i yang menyatakan bahwa kekayaan pihak lain yang
diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah adalah Keuangan
Negara,
juga dihapus. Pasal ini juga tidak benar karena banyak perusahaan swasta
dalam
penanaman modal mendapat fasilitas dari Pemerintah berupa insentif. Tidak
mungkin
keuntungan mereka menjadi Keuangan Negara.
Dengan
adanya perubahan ketiga undang-undang tersebut diharapkan adanya
kepastian
hukum, dimana pembangunan ekonomi dan pemberantasan korupsi berjalan
terus.