Kepastian Hukum Mutlak Bagi Pembangunan Ekonomi :
BADAN HUKUM, BUMN, DAN PERLUNYA AMENDEMEN
UU KEUANGAN NEGARA, UU BUMN DAN UU ANTI
KORUPSI*
Oleh
: Erman Rajagukguk
(Uang
BUMN bukan uang Negara)
Nama:
Fenita
NPM
:22211809
Kelas
:2EB09
Uang
BUMN Bukan Uang Negara
Kekaburan
pengertian Badan Hukum dan Keuangan Negara dimulai oleh
definisi
keuangan negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara
yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban
tersebut (Pasal 1 angka 1).
Penjelasan
Undang-undang No. 17 Tahun 2003 ini tentang pengertian dan
ruang
lingkup keuangan negara menyatakan :
“Pendekatan
yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah
dari
sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud
dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang
dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala
sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat
dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
seluruh
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau
dikuasai
oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan
Negara/Daerah,
dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain
kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di
atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan
pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi
seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan
dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam
rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang
pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan
dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang
pengelolaan
moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.”
Pasal
2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menyatakan
:
“Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.”
Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas.
Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di
atas ketika
menghadapi kredit bermasalah (non-performing
loan/NPL) bank PT. BRI (Persero)
Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No.
14 Tahun 2005.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :
“Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah
dilakukan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN
adalah UU Perseroan dan UU BUMN.”
Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan
di
dalam Komisi XI DPR karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf g UU
No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk
perubahan PP No. 24
Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula
yang
berpendapat, Pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-
Undang (Perpu) untuk membatalkan Pasal 2 ayat g UU Keuangan
Negara.
Menteri Keuangan meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
dalam fatwanya No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus
2006,
menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena
bank BUMN
Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas. Dengan
demikian Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari
kekayaan
BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan
keuangan negara.
Mahkamah
Agung dalam fatwanya menyatakan :
1.
Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha
Milik Negara berbunyi:
“Badan
Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan”
Pasat
4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN
merupakan
dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”
Dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud
dengan
dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara
pada
BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan
pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun
pembinaan
dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan
yang
sehat”;
2.
Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang
khusus
tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari
kekayaan
negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya
pembinaan
dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN
melainkan
didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;
3.
Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
Negara menyebutkan :
“Piutang
Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah
Pusat
dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang
sebagai
akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
Bahwa
oleh karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara;
4.
Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitia
Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau
hutang
kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Negara
atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai
oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab
apapun”
dan
dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi
pula
piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian
atau
seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, P.T-P.T Negara,
Perusahan-Perusahaan
Negara, Yayasan Perbekalan dan Persedian,
Yayasan
Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat
(1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan
(1) undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan
badan-badan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk
menyerahkan
piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut
hukum
akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana
mestinya
kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang
piutang
BUMN dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut
tidak
lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang No. 19
Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undangundang
khusus
(lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang No. 49 Prp.
Tahun
1960;
5.
Begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun
2003
yang berbunyi :
Keuangan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :
“g.
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.”
yang
dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN
maka
ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang
dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak
mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum;
Berdasarkan
pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas
Peraturan
Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah,
kata Mahkamah Agung R.I.
Menurut
pendapat saya, Pasal 2i Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan
Negara yang menyatakan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan
fasilitas yang diberikan Pemerintah juga termasuk Keuangan Negara
adalah
tidak tepat. Misalnya, perusahaan penanaman modal yang mendapat fasilitas dari
Pemerintah,
menurut pengertian ini kekayaan mereka menjadi kekayaan negara. Apakah
benar
begitu?
b.
BUMN Bisa Rugi (Business Judgment Rule)
Pasal
97 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
menyatakan, bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a.
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c.
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d.
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Penjelasan
Pasal 97 ayat (5) huruf d menyebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan
“mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian”
termasuk
juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan
pengurusan
yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat
Direksi.
Selanjutnya
Pasal 114 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan
Terbatas menyatakan, bahwa anggota Dewan Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan
atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
dapat
membuktikan:
a.
telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
b.
tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan
pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
c.
telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya
kerugian tersebut.
Pasal-pasal
tersebut di atas dikenal dengan nama Business Judgment Rule.
Sebagai
perbandingan, dalam Undang-Undang Corporation di Amerika
Serikat,
Negara Bagian di Amerika mengatur Business Judgment Rule ini sedikit
berbeda-beda.
Negara Bagian Delaware misalnya, tidak ada formulasi yang tunggal
hampir
dua abad tentang Business Judgment Rule ini. Tetapi, sejak 1984
formulasi
Delaware
kemudian amat terkenal. Delaware standard bergeser beberapa tahun
belakangan
ini, dimana sejak 1984 Mahkamah Agung Delaware secara konsisten
menetapkan
karakteristik Business Judgment Rule tersebut sebagai :
Di
yuridiksi lain, perlindungan yang dapat dicapai oleh pejabat perusahaan dan
direktur
dengan Business Judgment Rule mungkin tidak begitu kuat. Sebagai contoh,
Amrican
Law Institute mempunyai prinsip Corporate Governance yang menyatakan
bahwa
direktur yang membuat keputusan bisnis memenuhi tugas kehati-hatiannya
terhadap
perusahaan hanya jika ia “is informed with respect to the subject of the
business
judgment to the extent he reasonably believes to be appreciate under the
circumstances”
dan dia “rationally believes that the business judgment is in the best
interest
of the corporation”.
Dalam
bayangan perusahaan-perusahaan yang baru-baru ini bangkrut seperti
Enron,
Worldcom, Westars karena berbagai skandal, para pemegang saham dan
pengadilan
sepertinya lebih suka para direktur menjalankan standard yang tinggi.
Skandal
perusahaan-perusahaan tersebut adalah kekecualian, masih banyak direktur
yang
jujur.
Unsur-unsur
Business Judgment Rule, prakondisi yang harus dipenuhi sebelum
direktur
dapat memakainya sebagai pembelaan adalah :
1.
keputusan bisnis;
2.
tidak berkepentingan dan mandiri (independent);
3.
due care (sikap berhati-hati);
4.
good faith (itikad baik);
5.
no abuse of direction (tidak melanggar kebijaksanaan).
Pihak
yang menentang tingkah laku direktur harus membuktikan bahwa
direktur
melanggar prinsip kehati-hatian (duty of care) dan hanya perlu
membuktikan
salah
satu unsur tidak ada.2
Direktur
perusahaan bertanggung jawab mengarahkan pengurus dalam
kegiatan
perusahaan sehari-hari. Tujuan ini adalah umum yang integral didalam
menjalankan
perusahaan secara efektif dan menguntungkan. Dalam banyak keadaan
atau
situasi, para direktur menghadapi keputusan yang mereka sendiri tidak intimately
informed
about, dan mempunyai keterbatasan. Namun keputusan harus
diambil dalam
rangka
bisnis menjaga pasar dan mengatasi kompetisi. Dalam situasi tersebut,
direktur sepertinya terpanggil untuk mementingkan pemegang saham Perusahaan dan tujuan
direktur sepertinya terpanggil untuk mementingkan pemegang saham Perusahaan dan tujuan
membuat
putusan yang mementingkan perusahaan. Direktur yang bagus pada umumnya
seorang
yang dapat mempertimbangkan keperluan bisnis disatu pihak, risiko yang akan
dihadapi
dalam usaha tersebut dipihak lain. Bagaimanapun, harus terdapat kepentingan
dari
dua kepentingan tersebut, menciptakan strategi jangka panjang untuk suksesnya
perusahaan.
Jika direktur gagal menggunakan persyaratan dalam penilaian yang patut
untuk
kepentingan terbaik, dia bisa mendapat gugatan derivative dari pemegang saham
yang
tak beruntung.
c.
Kapan Kerugian PT BUMN Dihitung
Pada
prinsipnya laba atau rugi perusahaan dihitung setiap tahun, bukan setiap
transaksi
atau setiap bulan atau setiap triwulan bahkan bukan setiap semester. Dengan
demikian
laba atau rugi perusahaan dihitung dari kumulasi seluruh transaksi.
Kemungkinan
ada transaksi yang merugi tetapi kerugian tersebut dapat diatasi dengan
adanya
transaksi yang menguntungkan atau membawa laba kepada perusahaan. Pasal 66
ayat
(1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:
Direksi
menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan
Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun
buku
Perseroan berakhir.
Selanjutnya
ayat (2) menyebutkan laporan tahunan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya, antara lain :
Laporan
keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku
yang
baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan
laba
rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan
perubahan
ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut.
Kemudian
ayat (4) menyatakan :
Neraca
dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) huruf a bagi Perseroan yang wajib diaudit, harus
disampaikan kepada
Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Putusan
Mahkamah Agung berikut ini membuktikan bahwa laba atau rugi
perusahaan
tersebut dihitung dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan setelah
menjalani
audit.
Dalam
Bambang Riyadi Sugomo v. Handi Sujanto, No. 2743 K/Pdt/1995
(1996),
Bambang
Riyadi Sugomo selaku Direktur Utama PT. Pintalanmas Internusa
menggugat
Hadi Sujanto seorang pengusaha di Jakarta dengan alasan-alasan sebagai
berikut
:
Bahwa
Penggugat yang akan/sedang membangun Pabrik Pemintalan/Spinning
telah
memberikan kepercayaan kepada Tergugat untuk menjalankan atau melaksanakan
kegiataan
perusahaan sehari-harinya mengingat Tergugat sebagai salah seorang
Komisaris
PT. Pintalanmas Internusa.
Kepercayaan
yang diberikan kepada Tergugat meliputi pembangunan Pabrik
Pemintalan/Spining
yang berlokasi di Desa Cikande Serang, Jawa Barat, melakukan
pembelian
atau pemesanan Gen Set, membangun jalan, membangun rumah, membuat
kontrak-kontrak,
dan mengupayakan mendapat fasilitas kredit dari Bank. Ternyata
kepercayaan
yang diberikan Penggugat, oleh Tergugat telah disalah gunakan untuk
kepentingan
pribadi atas fasilitas kredit Bank Dagang Negara dengan cara mentransfer
secara
berturut-turut ke Rekening AC No. 82.412.6, pada Bank Central Asia (BCA)
Capem
Tomang Toll, Jakarta Barat atas nama Handi Sujanto. Jumlah yang ditransfer
tersebut
adalah sebesar Rp. 880.910.000,- dan Rp. 1.219.089.200,-. Penggugat
menyangka
Tergugat memalsukan dan menaikan harga kontrak sehingga Penggugat
dirugikan
berturut-turut Rp. 1.575.000.000,-, Rp. 319.125.000,-, Rp. 31.620.000,- dan
Rp.
149.230.000,-.
Kemudian
atas pembelian/pemesanan 12 set Gen Set Terggugat telah
melakukan
manipulasi dengan menaikan harga pembelian sehingga Penggugat
dirugikan
US $ 1.191.864. Akibat perbuatan Tergugat secara keseluruhan Penggugat
telah
dirugikan Rp. 4.174.974.200,- atau US $ 1.191.864.
Penggugat
menuntut kerugian itu dikembalikan ditambah bunganya sejak tahun
1992
sampai lunas dibayar. Atas perbuatan Tergugat juga, Penggugat mendalilkan
menderita
kerugian karena macetnya pembangunan pabrik pemintalan, sebesar Rp. 5
milyar
berdasarkan Pasal 1365 BW. Penggugat meletakan sita jaminan atas tanah dan
bangunan
Tergugat di Cempaka Putih Timur dan tanah bangunan gedung bertingkat di Tomang,
Jakarta Barat. Begitu juga tanah dan rumah di Meruya Hilir, di Jalan Kayu
Putih
2 dan Kampung Babakan Jagakarsa.
Tergugat
menolak semua dali-dalil Penggugat dalam eksepsinya tergugat
menyatakan
bahwa terlepas dari benar tidaknya isi gugatan sudah mengenai masalah
intern
antara Direktur Utama dengan Komisaris dalam suatu perseroan terbatas yang
sama.
Masalah perbedaan paham antara Penggugat dengan Tergugat harus dibawa
kedalam
Rapat Umum Pemegang Saham dan bukan kepada Pengadilan. Adanya untung
rugi
suatu Perseroan Terbatas harus dibuktikan dengan adanya Neraca dan perhitungan
laba
rugi yang telah disetujui dan disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Karenanya
Tergugat berpendapat gugatan ini adalah mengenai soal intern perusahaan.
Dalam
pokok perkara Tergugat dengan tegas menolak dalil-dalil Penggugat.
Tergugat
tidak melakukan perbuatan melawan hukum, sebab sesungguhnya Terggugat
adalah
pemilik perseroan terbatas PT. Pintalanmas Internusa tersebut. Penggugat harus
membuktikan
dalil-dalilnya itu sesuai dengan Pasal 163 HIR.
Pengadilan
Negeri dalam pertimbangannya menolak eksepsi Terggugat, karena
Tergugat
digugat sebagai pribadi bukannya sebagai Komisari PT. Pintalanmas
Internusa.
Dalam pokok perkara Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya antara lain
menyatakan
bahwa Tergugat Handi Sujanto tidak ikut serta melakukan pekerjaan, tetapi
pekerjaan
itu dilakukan oleh Yuwono Widarto selaku PIHAK KEDUA sesuai kontrak.
Pengadilan
berpendapat bahwa untuk adanya kejelasan pertanggung jawaban
secara
hukum tersebut, Yuwono Widarto selaku pihak dalam surat kontrak dan selaku
penerima
pekerjaan dari PT. Pintalanmas Internusa, harus diikut sertakan sebagai
subyek
hukum (Pihak Tergugat II) dalam surat gugatan. Oleh karenanya Pengadilan
Negeri
memutuskan surat gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Pengadilan
Tinggi Jakarta dalam tingkat banding menerima permohonan
banding
Penggugat dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pengadilan
Tinggi
mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan dinyatakan Tergugat telah
melakukan
perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat. Menghukum
Tergugat
untuk membayar kepada Penggugat uang sejumlah Rp. 4.174.974.200,-
ditambah
bunga sebesar 6% setahun terhitung bulan Februari 1991 sampai lunas dibayar
seketika
dan sekaligus. Kemudian menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat uang
sebesar US $ 1.191.684., ditambah bunga sebesar 6% setahun terhitung bulan Juli
1992
sampai lunas dibayar dengan seketika dan sekaligus.
Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi telah mendengar keberatan yang
diajukan
oleh pemohon kasasi dalam memori kasasinya. Pengadilan Tinggi telah salah
dan
melanggar hukum pembuktian karena Pengadilan Tinggi telah keliru menilai bukti
P.1
s/d P.12 dimana bukti-bukti tersebut nama pemohon kasasi tidak tercantum dan
juga
bukan
merupakan pihak-pihak dan pemohon kasasi menolak dengan tegas
pertimbangan-pertimbangan
Pengadilan Tinggi terhadap bukti-bukti tersebut dan juga
keterangan
seorang saksi saja (saksi Azhar Zainuri) telah ditolak oleh pemohon kasasi
karena
tidak didukung oleh bukti-bukti yang lain. Bukti P.12 bukan bukti pembukuan
pribadi.
Pemohon
kasasi adalah pemilik perusahaan PT. Pintalanmas Internusa dengan
seluruh
kekayaannya baik tanah maupun bangunan untuk kantor PT. Pintalanmas
Internusa
adalah milik pemohon kasasi sehingga pertimbangan Pengadilan Tinggi
adalah
tidak benar karena sama sekali tidak mempertimbangkan sertifikat tanah dan
bangunan
tempat PT. Pintalanmas Internusa sehingga tuduhan mentransfer uang ke
rekening
pribadi pemohon kasasi sama sekali tidak terbukti.
Pertimbangan
Pengadilan Tinggi mengenai bukti P.3 s/d P.10 adalah
menyalahi
pasal 1340 dan pasal 1365 KUH Perdata karena dalam bukti-bukti tersebut
jelas-jelas
disebut sebagai pihak adalah Drs. Fien Subroto sebagai pihak kesatu dan Ir.
Yuwono
Widarto sebagai pihak kedua sehingga seharusnya yang digugat adalah pihakpihak
yang
tercantum namanya dalam bukti kontrak P.3 s/d P.10, sedangkan pemohon
kasasi
sama sekali tidak ikut menandatangani kontrak tersebut dan pemohon kasasi
tidak
dapat dimintakan pertanggungan jawab.
Pertimbangan
Pengadilan Negeri sudah tepat karena subyek hukum dalam
gugatan
termohon kasasi kurang sehingga gugatan termohon kasasi harus dinyatakan
tidak
dapat diterima dan mohon periksa yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI No.
938
K/Sip/1971 tanggal 4 Oktober 1972.
Putusan
Pengadilan Tinggi bertentangan dengan pasal 1905 KUH Perdata dan
pasal
169 HIR karena seorang saksi yaitu Ir. Yuwono Widarto saja bukan saksi “Unus
Testis
Nullus Testis” sehingga berdasarkan hal tersebut
diatas tidak ada bukti bahwa
pemohon
kasasi sebanyak Rp. 2.074.975,- dan juga dari mana asalnya
bunga yang menurut Undang-Undang 6%/tahun terhitung Februari 1991 sampai dibayar lunas
bunga yang menurut Undang-Undang 6%/tahun terhitung Februari 1991 sampai dibayar lunas
karena
tanggal kontrak bukti P.3 s/d P.10 bermacam-macam tanggalnya demikian juga
pemohon
kasasi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian US $ 1.191.864,-
karena
pemohon kasasi tidak pernah menandatangani bukti P.11a s/d P.11f sehingga
berdasarkan
hal tersebut diatas nyatalah bahwa pemohon kasasi tidak melakukan
perbuatan
melawan hukum.
Pertimbangan
Pengadilan Tinggi yang hanya berdasarkan keterangan seorang
saksi
saja (saksi Iwan M) adalah bertentangan dengan pasal 1905 KUH Perdata dan 169
HIR
karena keterangan saksi tersebut yang mengatakan bahwa Pengadilan Tinggi
Pacific
Asia di Singapore adalah milik pemohon kasasi ternyata di persidangan
Pengadilan
Negeri sama sekali tidak terbukti dan lagi kepemilikan suatu Pengadilan
Tinggi
yang merupakan suatu badan hukum maka kekayaan dan tanggungjawabnya
harus
terpisah dari kekayaan dan tanggung jawab pribadi pemegang sahamnya.
Mengenai
sita jaminan pemohon kasasi merasakan keberatan atas putusan
Pengadilan
Tinggi karena sudah terbukti dipersidangan Pengadilan Negeri bahwa
pemohon
kasasi sama sekali tidak melakukan perbuatan melawan hukum atau
merugikan
termohon kasasi apalagi barang-barang bergerak maupun tidak bergerak
tersebut
bukanlah milik pemohon kasasi.
Terlepas
dari alasan-alasan kasasi tersebut di atas menurut Pendapat
Mahkamah
Agung Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum dalam
pertimbangan/alasan
sebagai berikut.
Pertama,
persoalan untung rugi suatu perseroan terbatas haruslah diputuskan
dan
disahkan terlebih dahulu dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan
Mahkamah
Agung juga berpendapat agar hasil Neraca untung rugi Perseroan Terbatas
haruslah
diaudit terlebih dahulu oleh seorang Akuntan Publik sebagai pihak ketiga yang
netral
sehingga Penggugat belum waktunya untuk mengajukan gugatannya ke
Pengadilan.
Kedua,
Mahkamah Agung tidak sependapat denga Judex Factie dalam eksepsi
karena
dalam posita gugatan disebutkan bahwa tergugat diberi oleh Penggugat
kepercayaan
sebagai komisaris PT. Pintalanmas Internusa sehingga segala sesuatu yang
menyangkut
masalah PT. Pintalanmas Internusa harus diputus dalam rapat pemegang
saham, karena persoalan
tersebut adalah masalah intern perusahaan.
Perhitungan
laba rugi sementara mungkin dapat juga dilakukan sebelum tahun
buku
berakhir dalam rangka perseroan ingin membagikan dividen interim sebelum
tahun
buku perseroan berakhir. Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Perseroan
Terbatas menyatakan, bahwa Perseroan dapat membagikan dividen interim
sebelum
tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar
Perseroan.
Ayat (2) menyebutkan, bahwa pembagian dividen interim sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak
menjadi
lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan
wajib.
Selanjutnya ayat (3) menyatakan, bahwa Pembagian dividen interim
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu atau menyebabkan
Perseroan
tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan
Perseroan.
Kemudian ayat (4) menyebutkan juga, bahwa pembagian dividen interim
ditetapkan
berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan
Komisaris,
dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3). Dalam pada itu
ayat
(5) menggambarkan resiko apabila perseroan pada akhir tahun buku ternyata
merugi
dimana dividen interim harus dikembalikan. Ayat (5) pasal ini menyatakan,
bahwa
dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian,
dividen
interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada
Perseroan.
Penjelasan ayat (5) memberikan contoh dividen interim yang harus
dikebalikan
tersebut. Dividen interim yang telah dibagikan sebesar Rp. 1.000,00 (seribu
rupiah)
per saham. Perseroan menderita kerugian dan tidak mempunyai saldo laba
positif
sehingga tidak ada dividen yang dibagikan. Oleh karena itu, yang harus
dikembalikan
adalah Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) per saham. Seandainya Perseroan
menderita
kerugian, tetapi Perseroan mempunyai laba ditahan (retained earning) dan
saldo
laba positif hingga, misalnya RUPS menetapkan dividen sebesar Rp. 200,00 (dua
ratus
rupiah) per saham. Oleh karena, itu saham yang harus dikembalikan adalah Rp.
1000,00
(seribu rupiah) dikurangi Rp. 200,00 (dua ratus rupiah) berarti Rp. 800,00
(delapan
ratus rupiah). Ayat (6) sebagai ayat terakhir menyatakan, bahwa Direksi dan
Dewan
Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan,
dalam
hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
Didalam
praktek tuduhan korupsi ditujukan kepada satu transaksi. Transaksi itu
dikatakan
merugikan keuangan BUMN karena terlalu tinggi atau terlalu mahal,
sehingga
dituduhkan adanya mark up. Uang BUMN uang Negara, merugikan BUMN
merugikan
Negara, dengan demikian terjadi korupsi. Struktur pemikiran demikian ini
menimbulkan
ketidakpastian hukum yang menakutkan pelaku ekonomi.
Putusan
Mahkamah Agung berikut ini menarik untuk diperhatikan. Dalam
Republik
Indonesia v. Sutrisno No. 70/Pid.B/2010/PN.Srg.,
terdakwa dituduh
melakukan
tindak pidana korupsi karena telah merugikan keuangan negara dan
memperkaya
orang lain. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut.
Terdakwa
sebagai Direktur PT. Krakatau Steel (Persero) telah menyewa
kendaraan
sedan Toyota Soluna dan Suzuki Baleno sebanyak 40 unit pada tahun 1999
yang
akan digunakan oleh BUMN tersebut untuk selama 60 bulan, melalui penunjukkan
langsung.
Total biaya sewa kendaraan tersebut dianggap Jaksa Penuntut Umum sebagai
kemahalan
dan merugikan keuangan BUMN tersebut. Karena keuangan BUMN adalah
keuangan
negara maka merugikan BUMN adalah merugikan negara. Padahal laporan
tahunan
BUMN yang bersangkutan pada waktu itu adalah menguntungkan. Perbuatan
terdakwa
tersebut diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana
dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.
Menurut
analisa saya, penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa
dibolehkan
karena keadaan yang mendesak atau keadaan khusus. Melanggar suatu
keputusan
Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa bukan tindak pidana, hanya
merupakan
pelanggaran adminitratif. Perbuatan itu baru menjadi tindak pidana korupsi
kalau
terbukti pelakunya menerima suap.
Suatu
transaksi mungkin harganya menjadi tinggi karena didalam harga
penjualannya
terdapat atau diperhitungkan apa yang disebut “trasaction cost”.
Majelis
Hakim tingkat pertama dalam perkara ini dalam putusannya
membebaskan
terdakwa dari segala tuntutan. Begitu juga dalam tingkat kasasi,
Mahkamah Agung
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.
Dalam
perkara Republik Indonesia v. TG, Terdakwa dituduh melakukan atau
turut
serta melakukan perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian
negara. Duduk perkaranya adalah MS selaku Kepala Seksi Akseptasi dan
Produksi
Bagian L/C Divisi Penjaminan PT. AKI menerima permohonan penjaminan
atau
surat kredit berdokumen yang diajukan oleh RS untuk pembelian sejumlah rotan.
RS
mencantumkan jaminan beberapa bidang tanah. MS yang sebelumnya telah
mengenal
RS membuat disposisi atas surat tersebut. Atas jaminan tersebut tidak pernah
dilakukan
pengecekan baik mengenai tanah yang dijaminkan maupun pabrik
pengelohan
rotan. Hanya berdasarkan kepada pengecekan lapangan yang tidak akurat
HH
permohonan jaminan itu disetujui. Ternyata RS yang membeli rotan dan yang
meminta
jaminan tidak membayar pembelian rotan tersebut. Oleh karena itu PT. AKI
harus
membayarnya.
Selanjutnya
PT. AKI berniat untuk mengeksekusi jaminan berupa tanah-tanah,
tetapi
ternyata tanah-tanah tersebut milik orang lain. RS telah menghilang. Terdakwa
dituduh
karenanya merugikan perusahaan sebesar dua milyar lebih. Karena merugikan
perusahaan
yang merupakan PT Persero, berarti merugikan negara. Padahal laporan PT.
AKI
pada tahun itu mendapatkan laba.
Saya
berpendapat perkara ini bisa menjadi perkara korupsi kalau ternyata TG
menerima
suap dari RS. Kalau tidak menerima suap ia hanya dikenakan tanggung jawab
perdata
yaitu bertanggung jawab pribadi karena telah lalai menjalankan tugasnya.
Dalam
perkara lain Republik Indonesia v. OKW (2010), Republik Indonesia
v.
AA (2010), dan Republik Indonesia v. S (2010). Ketiga perkara
tersebut adalah
berasal
dari suatu peristiwa rusaknya rotor dari GTG milik PT. KDM pada bulan
Pebruari
2004. Atas bantuan GE selaku pabrikan ditunjukklah CV. SJU selaku agen GE
di
Indonesia untuk mengatasi hal tersebut. Para Terdakwa dituduh melakukan korupsi
karena
adanya kerugian keuangan negara pada transaksi tersebut, didasarkan kepada
alasan
kemahalan membeli rotor. PT. KDM adalah anak perusahaan PT. PKT, dan PT.
PKT
adalah anak perusahaan PT. Pusri (Persero). Dakwaannya adalah “menimbulkan
kerugian
keuangan negara, karena perbuatan terdakwa menguntungkan PT. KDM”.
Dalam
perkara ini bekas Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim anak perusahaan
dari
PT. Pusri (Persero) didakwa telah melakukan penunjukan langsung dalam pembelian rotor untuk pembangkit tenaga listrik.
Duduk perkaranya bermula dari
generator
listrik dari PT. Kaltim Daya Mandiri (anak perusahaan PT. Pupuk Kaltim)
mengalami
kerusakan pada Gas Turbin Generatornya. PT. Kaltim Daya Mandiri
mengajukan
permohonan untuk meminjam rotor cadangan (spare) milik PT. Pupuk
Kaltim
dan PT. Pupuk Kaltim bersedia meminjamkan rotor yang sedang terpasang di
Gas
Turbin Generator Kaltim II milik PT. Pupuk Kaltim dengan sistem sewa yang
selanjutnya
dipasang di Gas Turbin PT. Kaltim Daya Mandiri.
Selanjutnya
untuk memperbaiki rotor tersebut saksi Ir. AA selaku Ketua
Panitia
Lelang A mengajukan surat kepada General Electric International Inc.
(perwakilan
Indonesia) untuk menawarkan pekerjaan perbaikan tersebut dengan surat
Nomor
: 2278-SDJI-T4-0208 tanggal 28 Juli 2004, namun dijawab oleh General
Electric
Internasional Operations Company Inc. dengan Letter of Support tanggal
30
Juli
2004 yang pada intinya menyerahkan perbaikan rotor kepada CV. Sumi Jaya Utama
dan
General Electric Internasional Operations Company Inc. akan menyediakan spare
part,
repair, field engineer and technical engineering untuk
perbaikan rotor tersebut,
karena
CV. Sumi Jaya Utama telah memperbaiki stator (bagian tidak bergerak) dari Gas
Turbin
Generator.
Kemudian
berdasarkan Letter of Support tersebut Panitia Lelang A menunjuk
langsung
CV. Sumi Jaya Utama untuk memperbaiki rotor tersebut sesuai Order
Pembelian
Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal 06 Mei 2004. Untuk perbaikan rotor
tersebut,
kemudian CV. Sumi Jaya Utama membawa rotor tersebut ke General Electric
Keppel
di Singapura dan memperoleh hasil yaitu biaya perbaikan rotor sebesar USD
2,678,098.30
dengan delivery time 30 minggu sesuai dengan surat penawaran harga dari
saudara
M selaku Direktur CV. Sumi Jaya Utama kepada Kepala Biro Pengadaan yakni
saksi
Ir. AA, SPPH Nomor : 2278-SJD1-T4-0208 tanggal 02 Agustus 2004 mengenai
spare
parts rotor.
Atas
balasan surat dari CV. Sumi Jaya Utama tersebut Kepala Biro Pengadaan
PT.
Pupuk Kaltim yaitu saksi Ir. AA membuat surat kepada Direktur Teknik yaitu
saksi
Ir.
RD, IPM Nomor : 1244/DAAN/VIII/2004 tanggal 03 Agustus 2004 untuk
menginformasikan
:
1.
Harga perbaikan rotor tersebut ex work Singpore senilai US$ 2,678,098.30
dengan
delivery time 30
minggu.
2.
Sedangkan untuk rotor baru senilai US$ 3,900,000 dengan delivery time 2
bulan.
Oleh
karena harga rotor Assembly for Gas Turbine Generator (GTG-KDM)
lebih
dari Rp. 500.000.000,-, maka saksi Ir. AA menyampaikan penawaran tersebut
kepada
saksi Ir. RD, selaku Direktur Tehnik dan selanjutnya Ir. RD meneruskan
penawaran
tersebut kepada terdakwa Drs. H. OKW, selaku Direktur Utama PT. Pupuk
Kaltim
untuk mendapatkan persetujuannya selaku pejabat yang memiliki kewenangan
dalam
menentukan pembelian barang diatas Rp. 500.000.000,-. Kemudian terdakwa
Drs.
H. OKW. selaku Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim menyetujui usulan yang
disampaikan
oleh saksi Ir. RD dan meminta penurunan harga serta meminta penawaran
harga
untuk pembelian dengan cara trade in (tukar tambah).
Atas
persetujuan terdakwa Drs. H. OKW selanjutnya saksi Ir. AA membuat
surat
Nomor : 169/Daan/VIII/04 tentang Penurunan dan Diskon Pembelian Rotor Baru
dan
dibalas oleh CV. Sumi Jaya Utama dengan suratnya Nomor : 080/SJU-PKT/LET-
2004
tanggal 5 Agustus 2004 yang menyatakan bahwa CV. Sumi Jaya Utama bisa
memberikan
diskon harga sebesar 3% dari harga barang, yang oleh saksi Ir. AA surat
tersebut
disampaikan kepada Kepala Kompartemen Pemeliharaan sesuai dengan surat
pengantarnya
Nomor: 1260/DAAN/VIII.04 tanggal 05 Agustus 2004 dan meminta
harga
rotor apabila dilakukan pembelian rotor sesuai dengan cara trade in (tukar
tambah).
Dengan
adanya surat dari CV. Sumi Jaya Utama tentang diskon tersebut, saksi
Ir.
AA menyurati kembali CV. Sumi Jaya Utama dengan surat Nomor :
169/Daan/VIII.04
tanggal 12 Agustus 2004 yang pada pokoknya meminta masukan
untuk
harga pembelian rotor baru (brand new), dan pembelian rotor baru (brand new)
dengan
sistem tukar tambah. Atas surat tersebut CV. Sumi Jaya Utama memberikan
surat
balasan Nomor : 082/SJU-PKT/LET-2004 tanggal 14 Agustus 2004 yaitu
pembelian
rotor baru (band new) yaitu senilai USD 3,850,000,- dan pembeelian rotor
baru
(brand new) dengan sistem tukar tambah senilai USD 3,640,000.00.
Selanjutnya
dibuat Order Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal
06Pembelian
Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal 06 Mei 2004 untuk pembelian Rotor
Assembly
for Gas Turbine Generator (GTG-KDM) kondisi brand new.
Kemudian
CV. Sumi Jaya Utama menghubungi PT. Imeco Inter Sarana selaku
distributor
resmi spare part produk asli General Elctric di Indonesia untuk
proses pengadaan rotor baru tersebut, dimana rotor rotor yang diadakan oleh CV. Sumi Jaya
proses pengadaan rotor baru tersebut, dimana rotor rotor yang diadakan oleh CV. Sumi Jaya
Utama
tersebut berasal dari PT. General Electric Indonesia selaku produsen dan
General
Electric
menjual rotor baru eks work Eropa tersebut kepada PT. Imeco Inter Sarana
yang
merupakan distributor General Electric Indonesia dengan harga US$ 2,396,000.00
selanjutnya
PT. Imeco Inter Sarana menawarkan dan menjual rotor baru eks work Eropa
kepada
CV. Sumi Jaya Utama dengan harga US$ 2,520,000.00,- Franco Jakarta,
sedangkan
CV. Sumi Jaya Utama menjual rotor baru eks work Eropa tersebut kepada
PT.
Pupuk Kaltim Tbk. Dengan harga US$ 3,640,000.00,-.
Saya
didengar keterangannya sebagai ahli dalam perkara ini di Pengadilan
Negeri
Bontang. Saya menerangkan antara lain, bahwa penunjukan langsung oleh suatu
perusahaan
adalah diperbolehkan dalam keadaan tertentu, keadaan khusu, ataupun
dalam
keadaan darurat yang tidak bisa ditunda pengadaan barang/jasanya. Dalam hal ini
selalu
diperhitungkan kerugian yang lebih besar akan terjadi bila penunjukan langsung
tidak
diadakan. Begitu juga penunjukan langsung bisa diadakan dengan alasan teknologi
yang
diperlukan. Saya menerangkan pula bahwa PT. Pupuk Kaltim bukanlah BUMN,
begitu
juga anak perusahaan PT. Pupuk Kaltim yaitu PT. Karya Daya Mandiri.
Keuangan
perusahaan-perusahaan tersebut bukanlah keuangan negara. Begitu juga
keuangan
PT. Pusri (Persero) sebagai BUMN bukanlah keuangan negara. Pendapat saya
ini
didasarkan kepada doktrin Badan Hukum, Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan
Fatwa
Mahkamah Agung.
Jaksa
Penuntut Umum menyatakan dalam tuntutannya, bahwa terdakwa telah
menguntungkan
PT. Karya Daya Mandiri, dengan demikian telah merugikan PT. Pupuk
Kaltim,
selanjutnya merugikan PT. Pusri (Persero), karena keuangan PT. Pusri (Persero)
adalah
keuangan negara, maka perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara, berarti
melanggar
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut
pendapat saya, anak perusahaan BUMN, bukanlah BUMN melainkan
Perseroan
Terbatas (PT) biasa. Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, melainkan
keuangan
BUMN itu sendiri sebagai Badan Hukum. Keuangan negara adalah pajak
yang
dibayar BUMN dan dividen yang diterima negara sebagai pemagang saham.
Keuangan
anak perusahaan BUMN bukanlah keuangan negara. Majelis Hakim
Pengadilan
Negeri Bontang dalam perkara ini dalam putusannya membebaskan para
terdakwa dari segala
tuntutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar