STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA
Oleh:
Nike K. Rumokoy
(Pendahuluan)
Nama:
Fenita
NPM:22211809
Kelas:2EB09
A. PENDAHULUAN
Dalam era yang
disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa
tuntutan yang
dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait
dengan
sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor-sektor
tersebut
diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak
asasi manusia,
dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping
itu juga akan
selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang
ekonomi.2
Politik hukum di
Indonesia yang telah mengarahkan pembangunan
hukum pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tampaknya sudah
sangat mendesak
untuk direalisir dengan program yang nyata oleh
Pemerintah. Namun
yang patut mendapat perhatian, jangan sampai terjebak
lagi dengan
angka-angka pertumbuhan ekonomi an sich, tanpa
memerhatikan
pemerataan ekonomi bagi masyarakat miskin, sebagaimana
yang dilakukan
pada era Orde Baru.
Cina sebagai
macan asia yang menjadi salah satu Negara yang
terkuat
perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total,
menciptakan
hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa
memperlancar
perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang
ada.
Since the beginning
of the 1980s, rapid development of
China’s system
of vesting legislative power is inevitable. An
important legal
mechanism for a modern country to
strengthen
administration, this system of vesting legislative
power also
promotes development of the state, a reflection of
the positive
consequences of the re-establishment of China’s
legal system and
the restructuring of its economy.3
Pemerintah Orde
Baru menyelenggarakan pembangunan dengan
mengultuskan
pertumbuhan eknomi melalui pendekatan ekonomi gaya
trickle
dwon effect. Secara teoritis jika orang kaya
meninvestasikan uangnya
di sektor riil,
infrastruktur
dan pasar modal, maka akan ada kegiatan ekonomi
yang
bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih kecil, dan membuat
persaingan
dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada akhirnya harga
akan
terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat tersebut.
Dengan
penggunaan strategi tersebut, diharapkan konglomerat-konglomerat
yang
telah ‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’ rezekinya pada
masyarakat
miskin, sehingga terjadi pemerataan ekonomi. Pada saat itu,
program
pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia
internasional,
diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya
memacu
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah
satu
Negara Asia yang mendapat julukan ‘keajaiban Asia’. Disamping itu,
lembaga
keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji
keberhasilan
pembangunan ekonomi Indonesia. 4
Namun
demikian, ternyata pertumbuhan ekonomi tinggi
diperlihatkan
oleh Pemerintah Soeharto tersebut merupakan window dressing
yang
digunakan untuk mengelabui mata dunia dan masyarakat Indonesia.
Fundamental
ekonomi yang digunakan untuk menopang pertumbuhan tinggi
tersebut
sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan konglomerat dan
dunia
perbankan yang pada saat itu menjadi tulang punggung dan senantiasa
mendapatkan
keistimewaan dari pemerintah ternyata bukan entrepreneur dan
banker
dalam arti yang sebenarnya, tetapi mereka hanya rent seeking
(pemburu
rente) dan para penjarah kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia.
Akibatnya
‘tetesan’ rezeki ke masyarakat miskin yang kemudian akan
berbuah
kemakmuran dikonsepkan para arsitektur ekonomi ternyata tidak
pernah
terjadi.
Puncak
dari semua permsalahan ini adalah ketika terjadinya krisis
moneter
tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian
bangsa
yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya
reformasi,
krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada krisis lainnya
seperti
krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di Inonesia,
sebagaimana
yang digambarkan oleh Harold Crouch:
Economic
disruption brought great suffering to much of the
population
and contributed to regular outbreaks of social
conflict,
including several ethnic and religious clashes, in
various
part of the country. Long-standing separatist
demands
in aceh and irian Jaya gained increasing popular support and East Timor won its
independence following a
UN supervised referendum.5
Konsekuensi
demikian seharusnya sudah dapat diketahui dan
diantisipasi
ketika optik sejarah diarahkan pada kali pertama munculnya
terminologi
trickle dwon effect. Di Amerika, pada saat kepemimpinan Ronald
Reagan,
kebijakan ekonomi trickle dwon effect ini dikenal dengan
Reaganomic
atau
supply side economics. Inti dari kebijakan ini adalah
pengurangan
pajak bagi orang-orang kaya, agar uangnya dapat diinvestasikan
pada
bisnis-bisnis yang mempunyai dampak luas.
Hal
ini tidak jauh berbeda diikuti oleh Bill Clinton, dan selanjutnya
Georgr
W. Bush yang juga mengurangi pajak orang kaya pada awal 2001,
yang
mencakup pengurangan pajak untuk capital gain, pajak penghasilan dan
pajak
perusahaan.6 Pendekatan ekonomi semacam ini sebenarnya telah lama
diterapkan
di Amerika, yaitu sejak medio 1890-an dengan nama ‘horse an
sparrow
theory’. Teori ini menjelaskan bahwa ketika kita memberi
makan
kuda
berupa gandum yang cukup, maka akan terdapat ceceran gandum yang
dapat
dinikmati oleh sekelompok burung gereja. Lalu mengapa hanya
‘ceceran
gandum’ yang harus dibagikan, sementara jumlah burung gereja
jauh
lebih besar populasinya dibandingkan kuda. Inilah titik lemah konsep
trickle
dwon effect disektor pemerataan yang banyak menuai
kritik dan
mengalami
pergeseran dalam kaitannya untuk mewujudkan Negara
kesejahteraan.
Namun kelemahan ini agaknya berhasil dimaksimalkan oleh
entrepreneur
gadungan
dan bankir pemburu rente yang luput dari arahan
konseptor
ekonomi orde baru. Beragam keistimewaan dan kemudahan yang
diberikan
pemerintsh tidak berwujud dalam kesejahteraan rakyat sebagai
konsekuensi
dari efek tetesan yang dimaksud.
Pada
saat itu hukum yang seharusnya digunakan untuk memandu
sekaligus
sebagai landasan bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam menjalankan
aktivitasnya
tidak pernah mendapatkan perhatian atau bahkan dilecehkan
keberadaannya.
Hukum yang digunakan untuk mengatur aktivitas ekonomi
adalah
‘hukum konglomerat’, maksudnya hanya konglomerat yang dekat
dengan
keluarga cendana yang mendapat berbagai fasilitas istimewa7 dan
mengontrol
aktivitas ekonomi di Indonesia.
Di
era reformasi seperti sekrang ini, yaitu ketika masyarakat
mempunyai
komitmen untuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi
dan
bidang hukum, kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, ketika hokum
senantiasa
ditelantarkan, sebaiknya tidak terulang kembali. Untuk itu, tepat
kiranya
pada saat kondisi ekonomi Indonesia masih belum pulih seperti
sekarang
ini kita mulai memberikan skala prioritas utama pada pembangunan
hokum
ekonomi di Indonesia, agar bisa digunakan sebagai pondasi dan
pemandu
para pelaku-pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya. Itulah
sebabnya,
pemerintah Indonesia tidak hanya harus memusatkan perhatian
kepada
pemulihan ekonomi, melainkan juga harus meletakkan dasar bagi
pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, lebih efisien dan lebih merata.
Untuk
mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas
‘reformasi’
untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten
dengan
tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan
Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan
secara
berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.
Pembangunan
hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah
secara
sadar dan mendasar system hukum ekonomi yang selama ini
berkualitas
‘liberal’ dan dibawah kendali Negara-negara maju menjadi
system
hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah) atau
kerakyatan,
sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33
UUD
1945. System hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau
‘kerakyatan’,
ini sebenarnya juga merupakan system hukum yang tidak
sekedar
mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada
rule
of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut
kemudian
diintegrasikan
secara timbal balik dengan system ekonomi Pancasila.
Maka
diperlukan sebuah penafsiran hukum yang mengarah pada
penegakan
hukum yang lebih menjunjung nilai moral dan nilai keadilan,
tidak
terpaku pada penegakan hukum yang kaku hanya pada undang-undang
saja,
tanpa memandang berani menafsirkan hukum demi terwujudnya
keadilan.
Indonesia sebagai Negara yang menganut positivism hukum, harus
berani
keluar dengan memberikan penafsiran-penafsiran yang luas demi
terwujudnya
keadilan. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa A
number
of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s
objectivity.8
Pembangunan
hukum yang bersifat ‘revolusioner’ pernah juga
dilakukan
oleh Jepang pada tahun 1868, pada saat itu Kaisar Meiji mengeluarkan dokumen
penting yang memuat kebijaksanaan dasar untuk
mengubah
Jepang Feodal menjadi Negara modern, seperti penghapusan
wilayah-wilayah
feodal ke dalam provinsi, sistem militer wajib, sistem pajak
terpusat,
serta penghapusan hak-hak feodal dan kelas prajurit. Dengan
pendekatan
‘revolusioner’ diharapkan pencapaian Visi Indonesia 2030
dilandasi
dan dituntun oleh suatu sistem hukum ekonomi yang bersumber
dari
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta norma-norma yang
hidup
ditengah masyarakat (hukum adat dan hukum Islam).
Strategi
pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga
memerhatikan
konsep pembangunan hukum ekonomi yang berkelanjutan
(sustainable
economic law development), yang melakukan pembangunan
tidak
lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam
suatu
undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi
memerhatikan
aspek yang lain.
Aspek-aspek
yang dimaksud disini mencakup berbagai dimensi
yang
luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga anasir sebagai
berikut:
(1) structur, (2) substance, dan (3) legal culture9. Ketiga
aspek ini
diambil
dari pendapat Lawrence M. Freidman, yang mana pendapat ini sering
dirujuk dalam
berbagai penelitian dan kajian sistem hukum di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar