STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA
Oleh:
Nike K. Rumokoy
(Pembahasan)
Nama:
Fenita
NPM:22211809
Kelas:2EB09
C.
PEMBAHASAN
Salah
satu prasyarat dari pencapaian Visi Indonesia 2030 yang
dilupakan
para penyususnnya adalah adanya penegakan etika bisnis yang
konsisten.
Hal ini dirasakan penting karena penyebab terpuruknya ekonomi
Indonesia
yang dalam menjalankan bisnisnya tidak mengabdi pada
kepentingan
nasional, tetapi justru menjarah harta rakyat untuk dibawa ke
luar
negeri. Itu semua disebabkan karena sejak pertama kali menjalankan
bisnisnya,
para konglomerat tersebut tidak melandasi kegiatan ekonomi dan
bisnisnya
dengan etika bisnis yang kuat.
Di
Indonesia, khususnya di lingkungan pelaku ekonomi, keberadaan
etika
bisnis tampaknya masih merupakan suatu konsep. Naskah kode etik
pengusaha
Indonesia sejak tahun 1989 telah disetujui oleh rapim Kadin
(Kamar
Dagang dan Industri) untuk disosialisasikan dan ditegakkan di
lingkungan
pengusaha. Namun dalam tataran praktis, masyarakat dengan
mata
telanjang telah melihat kekotoran sepak terjang pengusaha-pengusaha
Indonesia
dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Menurut I.S. Susanto,
dimensi
etik dikalangan bisnis sangat tipis bahkan terabaikan. Dalam suatu
Negara
yang masyarakatnya beragama, mempunyai idiologi Pancasila, dan
masih
menjunjung nilai moral, kondisi tersebut tampak sangat
memprihatinkan.
Konsep
etika bisnis, yang didalamnya mengandung prinsip
otonomi,
prinsip kejujuran, prinsip tidak berbuat jahat, prinsip kejujuran,
prinsip
tidak berbuat jahat, prinsip keadilan dan prinsip hormat kepada diri
sendiri,
jelas merupakan suatu konsep yang sifatnya universal bagi manusia
yang
beradab, dan sudah seharusnya konsep tersebut dijadikan pemandu
didalam
pergaulan bisnis sehari-hari.
Peran
moral dalam etika bisnis tersebut dalam praksis tidak hanya
sekedar
penerapan etika umum pada kegiatan bisnis, tetapi bisa berkembang
hingga
ketaraf metaetika. Sebab bisnis modern saat ini, merupakan realiatas
yang
sangat kompleks. Banyak faktor turut memengaruhi dan menentukan
keberhasilan
kegiatan bisnis, antara lain faktor organisatoris manajerial,
ilmiah
teknologis, dan politik sosial-kultural. Kompleksitas bisnis sebagai
kegiatan
sosial tersebut, merefleksikan hubungan bisnis dengan kompleksitas
masyarakat
modern miliu terkini. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan
banyak
cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua
faktor
yang membentuk kompleksitas bisnis modern ini memerlukan arahan
dan
kode etik agar mengantarkan kegiatan bisnis yang sehat dan bermoral,
memapar
motivasi, kemauan dan tujuan suatu tindakan dalam kegiatan bisnis
membongkar
latar belakang tindakan-tindakan bisnis, prinsip-prinsip dalam
bisnis,hingga
menyelami kesusilaan dan pernyataan etika didalam kegiatan
bisnis.
Dalam
sistem hukum ekonomi kerakyatan atau kekeluargaan yang
lebih
member penekanan pada rule of law, etika bisnis tampaknya perlu
mendapat
perhatian yang besar dan diusahakan ikut mewarnai kegiatan
ekonomi.
Hal ini memang suatu tandatangan yang berat, karena selama ini di
lingkungan
dunia bisnis terlanjur melekat suatu ‘mitos bisnis amoral’.
Dengan
mitos seperti itu, pelaku bisnis senantiasa menganggap ‘bisnis adalah
bisnia’
atau ‘bisnis jangan dicampurkanadukkan dengan etika’. Dalam hal ini
bisnis
dipandang sebagai kegiatan netral yang bebas nilai terlepas dari
konteks
moral atau dengan kata lain tidak berhubungan dengan nilai-nilai
kebaikan
maupun kejahatan.
Hal
ini sependapat dengan yang dikatakan oleh Kofi A. Annan,
bahwasanya
ekonomi dan kewajiban social merupakan dua mata uang yang
tidak
dapat dipisahkan, dalam menjalankan kegiatan perekonomian jangan
hanya
mencari keuntungan semata, tetapi penerapan etika bisnis yang bernilai
moral
dan sosial harus diterapkan.
Economic
rights and social responsibilities are two sides of
the
same coin. That is why a year ago in Davos I proposed a
global
compact between business and theUnited Nations. I
asked
them to act, within their sphere of influence, according
to
internationally accepted standards in the areas of human
rights,
labour standards, and the environment --- and I
offered
the services of the United Nations system to help
them
do so.17
Dalam
kerangka mitos bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai
permainan
judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang dan
meraih
keuntungan. Oleh karena itu, dalam persaingan bisnis yang semakin
ketat
dan tajam, orang-orang cenderung mengejar laba maksimal dalam
jangka
pendek. Dengan perilaku berorientasi pada laba sebesar-besarnya,
pelaku-pelaku
ekonomi bisa kejam dan menyingkirkan etika. Mereka
berpendapat
bahwa mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang
kurang
menguntungkan untuk mengejar laba.
Dengan
menawarkan konsep hukum ekonomi kerakyatan atau
kekeluargaan,
yang dalam hal ini terkandung etika bisnis, mitos seperti
tersebut
diatas harus diubah secara mendasar. Dalam konsep ini kegiatan
bisnis
harus dianggap sebagai kegiatan manusiawi yang dapat dinilai dari
sudut
pandang moral. Tujuan jangka panjang dari konsep ini diharapkan
didalam
kehidupan masyarakat tertanam suatu pandangan atau menggugah
kesadaran
pelaku-pelaku ekonomi agar tercipta suatu mitos bahwa
pelaku ekonomi yang tidak mengindahkan moral
justru akan berada dalam posisi
yang
tidak menguntungkan di lingkungan masyarakat.
Para
pelaku ekonomi harus sadar dan mengerti bahwa sasaransasaran
utama
badan usaha pada dasarnya tidak hanya sekedar profitability
dan
growth, tapi juga image. Pengembangan citra atau image
building adalah
salah
satu sasaran yang tidak terlepas dari tujuan jangka panjang setiap
institusi
bisnis. Citra yang positif, baik di kalangan internal maupun pada
masyarakat
umumnya merupakan ‘aset’ atau kekayaan yang tidak bernilai
yang
senantiasa justru menjadi pusat perhatian utama dari pimpinan
institusiinstitusi
dunia
usaha.
Disamping
itu, para pelaku usaha ekonomi harus tahu bahwa
berdasarkan
riset telah terbukti perusahaan-perusahaan besar yang ratusan
tahun
tetap survive sampai sekrang adalah perusahaan-perusahaan yang patuh
pada
etika bisnis.
Untuk
mendukung penegakan etika bisnis, sebenarnya Majelis
Permusyaearatan
Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa, didalamnya juga
mengatur
tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalamnya juga mengatur
tentang
etika ekonomi dan bisnis. Hal ini dimaksudkan agar prinsip dan
perilaku
ekonomi baik perseorangan, isntitusi maupun pengambil keputusan
dalam
bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang
bercirikan
persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya
etos
kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan
terciptanya
Susana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak
kepada
rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan.
Campur
tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan
mengenai
etika bisnis juga sangat diperlukan. Selain itu upaya-upaya untuk
menyelesaikan
sengketa bisnis harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa
menghambat
pertumbuhan ekonomi, upaya penyelesaian-penyelesaian
sengketa
bisnis yang lebih dinamis dan bisa menjawab semua permasalahan
yang
ada tanpa terpaku secara monoton pada pengadilan. Hal ini dijelaskan
oleh
Lawrence Meir Freidmen,
Ultimately,
if the Court cannot solve the problem and if the
problem
does not vanish of its own accord (through a radical
change
in popular tastes or levels of toleration), some
extrajudicial
solution will have be reached.18
Dengan
pedoman etika ini diharapkan mampu mencegah terjadinya
praktik-praktik
monopoli, oligopoly, kebijakan ekonomi yang mengarah pada
perbuatan
korupsi, kolusi dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negative terhadap
efisiensi, persaingan sehat dan keadilan, serta
menghindarkan
perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh
keuntungan.
D.
PENUTUP
Kualitas
pembangunan hukum ekonomi dipengaruhi oleh respon
bidang
hukum terhadap tuntutan bidang ekonomi, kemampuan
mengharmonisasikan
tekanan globalisasi hukum dan kepentingan rakyat, dan
tekanan
sistem kapitalis di Indonesia. Oleh karena itu pembangunan ekonomi
harus
dilakukan secara revolusioner dengan menetapkan terlebih dahulu
sistem
ekonomi Indonesia yang berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945,
sehingga mampu menghasilkan sistem hukum ekonomi yang tidak
mengabdi
pada Negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan
transnasional.
Akan tetapi lebih kea rah berkualitas ‘kekeluargaan
(ukhuwah)’
atau kerakyatan dan mengabdi pada kepentingan rakyat, atau
sistem
hukum ekonomi yang ditempatkan sebagai panglima yang tidak
sekedar
menghandalkan pada rule of law tapi lebih mengarah pada rule of
moral atau
rule of justice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar