STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA
Oleh:
Nike K. Rumokoy
(Tinjauan Pustaka)
Nama:
Fenita
NPM:22211809
Kelas:2EB09
B.
TINJAUAN PUSTAKA
Reformasi
substansi hukum ekonomi atau perombakan hukum
secara
mendasar yang mempunyai kualitas ‘paradigmatik’, membutuhkan
perjalanan
dan langkah-langkah politik yang tidak sederhana. Pembuatan
peraturan
perundang-undangan dibidang ekonomi pada hakikatnya
merupakan
kristalisasi pertempuran beberapa kepentingan yang didominasi
kekuatan
politik dan kepentingan bisnis.
Disamping
itu juga merupakan suatu pekerjaan teknis meramu
sistem
hukum dan sistem ekonomi yang berlaku disuatu negara. Jelas bahwa
ditinjau
dari teori hukum, fenomena tersebut mulai meninggalkan dalil bahwa
hukum
yang baik adalah hukum yang netral atau objektif. Sebagaimana
diketahui,
dalil tersebut membawa roh paradigma positivisme hukum yang
kental.
Menurut para penganut positivisme hukum, kepastian hukum hanya
akan
terwujud jika hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan
otonom10
dari berbagai persoalan non legal lainnya.
Berkaitan
dengan pengaruh sistem hukum dalam pembuatan produk
perundang-undangan
dibidang ekonomi, pada saat sekarang ini sistem hukum
di
Indonesia setidaknya sedang mengalami dua fenomena kolaboratif
diametral yang
acapkali tidak menunjukkan warna yang seirama. Fenomena
pertama
adalah disatu sisi ‘tarikan dari atas dan kebawah terhadap sistem
hukum
Indonesia’ oleh globalisasi hukum, dan di sisi adalah otonomi daerah.
Kedua
tarikan ini tentunya memberikan pengaruh terhadap bidang hukum
ekonomi,
baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Adapun
fenomena
kedua adalah ‘terjadinya disharmonisasi akibat dualisme sistem
hukum
yang berlaku di Indonesia’, yaitu antara sistem hukum Eropa
Kontinental
dan sistem hukum Anglo Saxon dan Common Law yang
mewarnai
hukum ekonomi terkini.
Fenomena
tarikan kebawah terhadap sistem hukum Indonesia dapat
dijelaskan
sebagai berikut. Walaupun saat ini common law mendominasi
tradisi
hukum di Indonesia, namun setelah Undang-Undang otonomi daerah
diberlakukan
sejak tahun 2001, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam
ternyata
semakin melihatkan identitasnya sebagai nilai-nilai yang patut
diperhitungkan
kebangkitannya didaerah-daerah tertentu. Diera otonomi, elit
birokrasi
sudah relative lebih memaham substansi Hukum Islam dan Hukum
Adat
guna pencapaian pemenuhan kebutuhan dan visi daerahnya. Hal ini
tentunya
tidak lain karena kedekatan kultural kedua sistem hukum dimaksud
yang
dijumpai dan telah lama ada di keseharian kehidupan masyarakat
dimasing-masing
daerah.
Masih
hidupnya hukum adat ditengah-tengah masyarakat karena
inilah
warna hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, lebih
mencerminkan
nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat sehingga masih
banyak
masyarakat yang masih menggunanakan hukum adat menyelesaikan
setiap
permasalahan hukum, hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Van
Volenhoven:
Indonesia
Adat Law, ignorance of legal procedures on the
hand,
and the cultural inclination to reach an out of court
settlement
on the other, contribute signicantly to the absence
of
a litigation culture. Van Volenhoven points out that there
was
a countless number of disputes, but they were not
brought
to court. People avoided the court.
…..Leaving
the rural areas alienated from any litigation
culture.11
Disamping
itu, saat ini beragam organisasi masyarakat (ormas)
maupun
lembaga swadaya masyarakat (NGO) lebih banyak tersebar diseluruh
pelosok
daerah sehingga kedua sistem hukum tersebut berpotensi
tersosialisasi
secara cepat dan luas di tengah-tengah masyarakat. Munculnya
era
desentralisasi menjadi faktor pendorong pula dalam merealisasikan keinginan
dari bawah (daerah). Daerah-daerah yang sudah siap dengan sistem
desentralisasi
dapat mewujudkan hukum Islam maupun Hukum Adat dengan
dua
cara. Pertama, melalui otonomi khusus, yang tentunya dapat ditempuh
setelah
mempunyai sandaran Ketetapan MPR (TAP MPR). Kedua, melalui
Peraturan
Daerah (Perda), yang dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat
membuat
Perda yang substansinya memperkokoh penegakan hukum terhadap
ketentuan
Undang-Undang yang sudah berlaku. Dengan demikian dapat
dikatakan
bahwa tarikan dari bawah terhadap sistem hukum di Indonesia
terwujud
dengan munculnya trend ‘mikro nasionalisme sistem hukum’ di
beberapa
daerah di Indonesia.12
Mikronasionalisme
sistem hukum yang dimaksud adalah
dimulainya
orde hukum baru yang ditandai dengan bermunculannya
peraturan-peraturan
lokal beserta derivasinya sebagai akibat dibukanya keran
otonomi
daerah. Dewasa ini sudah diakui denga luas, betapa peraturab yang
lebih
rendah dari Undang-Undang itu mampu membentuk ‘orde hukum’
tersendiri.
Guna menumbuhkan sinergi antara orde Undang-Undang dan orde
peraturan
lokal yang notabene merupakan bentuk tarikan kebawah terhadap
sistem
hukum Indonesia, diperlukan upaya-upaya pengawasan hukum.
Namun
ketika keterbatasan sistem pengawasan hukum formal yang
dijalankan
Mahkamah Agung muncul sebuah kendala, maka pengawasan
hukum
informal agaknya menjadi penting untuk dilakukan. Inilah tugas para
akademisi,
yaitu para doctor, professor dan cendikiawan diberbagai kampus
di
tanah air untuk menelurkan opinion doctorum.13 Sebuah upaya
pengawasan
informal yang juga dapat dilakukan secara sinergis dengan
keterlibatan
badan dan lembaga lain, seperti DPR, Lembaga Konsumen, Pers,
Lembaga
Bantuan Hukum dan sebagainya.
Adapun
tarikan dari atas pada sistem hukum di Indonesia berupa
pengaruh
adanya globalisasi hukum terjadi melalui standarisasi hukum,
antara
lain, melalui perjanjian-perjanjian multilateral. Dalam hal ini hukum
berusaha
untuk melintasi atau membongkar hambatan ruang dan waktu,
dengan
menisbikan perbedaan sistem hukum. Globalisasi hukum merupakan
gelombang
kedua yang membawa kepentingan ekonomi global yang
dikembangkan
melalui prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization)
atau
perdagangan bebas (free trade) lainnya. Oleh karenanya, ketika
globalisasi
hukum ini melegitimasi arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dalam
suatu kesepakatan keseragaman hukum maka
gelombang
globalisasi ekonomi dan globalisasi hukum ini sulit untuk ditolak
dan
harus diikuti.
Tarikan
magnet globalisasi hukum dan globalisasi ekonomi ini
saling
terkait dan tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan ketika
globalisasi
hukum mengikuti globalisasi ekonomi yang notabene merupakan
muatan
yang dikandungnya, maka substansi berbagai undang-undang dan
perjanjian-perjanjian
tersebut menyebar melewati batas-batas Negara (crossborder).
Kondisi
demikian sekaligus mengubah pandangan kaum positivis
kearah
pandangan Lawrence Meir Freidman, yang menyatakan bahwa hukum
itu
tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap
waktu
terhadap pengaruh dari luar. Pada tahap ini dapat dipahami bahwa
globalisasi
ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang
sangat
besar pada bidang hukum.
Negara-negara
didunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi
dan
perdagangan bebas itu, baik Negara maju, maupun Negara sedang
berkembang,
bahkan Negara yang terbelakang harus membuat standarisasi
hukum
dalam kegiatan ekonominya. Sebagimana dijelaskan sebelumnya,
disepakatinya
GATT-PU telah membawa konsekwensi Negara-negara
anggota
kehilangan kedaulatan untuk membuat perundang-undangan dalam
bidang
ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan, penanaman
modal
(investasi), jasa dan bidang hak kekayaan intelektual (HKI) dengan
semua
ketentuan yang ada pada GATT-PU. Kondisi ini jelas akan
berpengaruh
pada proses bekerjanya sistem hukum dalam masyarakat.
Perancang
Undang-Undang, baik ditingkat pusat maupun daerah,
harus
mampu mengakomodasi ‘tarikan kebawah dan ke atas’ pada sistem
hukum
yang sekarang terjadi di Indonesia tersebut, yang kemudian secara
cerdas
diramu dengan isi Pasal 33 UUD 1945. Jika pembuat Undang-Undang
berhasil
melakukan langkah tersebut, produk peraturan dibidang ekonomi,
tidak
saja mampu mengantisipasi tren perdagangan internasional dan
mengakomodasi
kepentingan daerah, tetapi juga mampu merealisir amanat
konstitusi
agar pertumbuhan ekonomi itu digunakan untuk kemakmuran
rakyat,
bukan mengabdi pada kepentingan asing maupun konglomerat.
Selama
ini banyak ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang
ekonomi hanya sekedar mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD
1945
dalam pertimbangan hukum dengan diselimuti kata ‘mengingat’, tanpa
secara
konsisten menindaklanjutinya dalam pasal-pasalnya, bahkan tidak
jarang
kita melihat ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut tidak
sinkron
dan bahkan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya
Ayat
(1), (2) dan (3). Ha demikian menunjukkan bahwa produk perundangundangan
tidak
lebih dari tumpukan peraturan yang sarat kepentingan dan
telah
kehilangan rohnya, yaitu nilai luhur yang dikandungnya. Oleh sebab itu,
sudah
pada tempatnya jika didalam peraturan hukum dan perundangan terdapat bagian
yang mampu mengalirkan nilai-nilai luhur tersebut. Bagian
itu
adalah asas hukum yang akan memberikan orientasi yang jelas, hendak
kemana
masyarakat sebagai adresat akan dibawa oleh hukum yang
mengaturnya.
Urgensi
pendayagunaan asas hukum ini disampaikan oleh Satjipto
Rahardjo
sebagai ‘nutrisi’14 yang akan menyuplai kebutuhan hukum, sistem
hukum
dan sistem perundang-undangan. Dikatakan bahwa, sistem hukum itu
tidak
hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris, melainkan juga
memiliki
‘’semangat ‘’. Undang-Undang Dasar kita misalnya, dengan tegas
mengatakan,
bahwa Negara ini berdasarkan “kekeluargaan”. Maka,
kekeluargaan
ini pulalah yang selanjutnya akan menjadi pegangan, landasan,
orientasi,
serta prinsip besar yang dipakai dalam membangun sistem hukum
kita
lebih lanjut. Oreintasi dan semangat kekeluargaan tersebut member
nutrisi
bagi sistem hukum. Memang hukum juga membutuhkan nutrisi.
Seperti
vitamin bagi manusia, demikian pula makna nilai-nilai yang
terkandung
dalam asas hukum tersebut. Asas hukum memberikan nutrisi
kepada
sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya merupakan
bangunan
perundang-undangan, melainkan bangunan yang sarat dengan nilai
dan
mempunyai filsafat, serta semangatnya sendiri.
Menurut
Profesor M.P. Jain, LL.M., Law has become the
instrument
of social change. Law is needed for taking any action affecting
any’s
body’s person, property or any right. The demand for law is practically
insatiable
today.15 Untuk itu diperlukan pranata-pranata hukum yang
memiliki
nilai-nilai keadilan dan keseimbangan sehingga kegiatan
perekonomian
bisa berjalan dan berkembang dengan baik.
Pada
era reformasi sebenarnya pemerintah bersama badan
legislative
telah banyak menghasilkan perundang-undangan dibidang
ekonomi.
Namun demikian keberadaan peraturan perundang-undangan yang
dimaksudkan
untuk mendukung bidang ekonomi ternyata belum mampu
berperan
optimal untuk menciptakan suasana kondusif bagi investor,
meningkatkan
kehadiran investasi asing, dan menopang perumbuhan
ekonomi
dalam rangka mengurangi angka penganguran, maupun menekan
angka
kemiskinan. Mencermati hal ini, pandangnan Satjipto Raharjo
mengenai
asas hukum patut mendapatkan perhatian.
Pernyataan
yang hendak dijawab ialah mengapa dengan semakin
kompleknya
pengaturan dibidang ekonomi tidak memberikan efek yang
signifikan
terhadap indicator keberhasilan ekonomi sebagaimana diharapkan?
Adakah
terdapat substansi yang masih keliru dalam pengaturan perundang
dibidang
ekonomi yang dimaksud? Berkenaan dengan pendayagunaan
hukum,
maka ketika hukum terus dikembangkan seiring perkembangan
zaman,
disinilah menurut hemat Penulis peran asas hukum untuk memberikan
tuntunan
mengenai teknis metodologis dan arahan yang dituju oleh sistem
yang
sedang dikembangkan tersebut. Katakanlah jika asas kekeluargaan
merupakan
asas yang diletakkan para arsitek UUD, pada tahap
selanjutnyatidak
seharusnya pengembangan hukum dan sistemnya
meniadakan
asas demikian. Dengan kata lain, jika pengembangan hukum dan
pembuatan
Undang-Undang justru melenceng meninggalkan jalur asas
hukum
yang dilandaskan oeh para pendiri bangsa, maka ekses dan akibat
yang
berwujud kekacauan dalam sistem hukum merupakan konsekuensi logis
yang
harus dipertanggungjawabkan.
Konsep
asas hukum sebagai nutrisi sistem hukum dan Undang-
Undang
sebagai produk hukum yang dihasilkannya, pada tahap selanjutnya
juga
berkaitan erat dengan pola dan kualitas penagakan hukumnya. Menurut
Mochtar
Kusuma Atmadja16, yang menjadi masalah utama di Indonesia dan
banyak
dikeluhkan oleh investor asing adalah kepastian hukum, baik
mengenai
ketentuan peraturan perundangan-undangan yang didalamnya
ditemukan
banyak hal yang masih tidak jelas dan saling bertentangan,
maupun
mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.
Menurut
Erman Rajagukguk, ketidakpastian hukum akan
berpengaruh
pada perekonomian. Ada 3 (tiga) factor yang menjadi penyebab
tidak
adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu pertama, hirarki peraturan
perundang-undangan
tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi
yang
diatur, kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan, dan ketiga,
penyelesaian
sengketa-sengketa dibidang ekonomi tidak bisa diramalkan.
Oleh
karena itu, menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin
cepat,
kompleks dan unpredictable, substansi hukum ekonomi di Indonesia
disamping
harus mampu menjamin adanya kepastian hkum khususnya
adanya
sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai
tingkat
peraturan daerah, dan membatalkan peraturan daerah yang
menghambat
investasi, melakukan keberpihakan kepada rakyat miskin,
reformasi
peraturan perpajakan, juga harus mampu melakukan refleksivitas
dengan
langkah manageable, available, workable, and interwoven easily
with
all
aspect of social life, jika hal ini tidak dilakukan maka
hukum ekonomi
semakin
mengalami alinasi di masyarakat, seperti yang tengah terjadi
sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar