Jumat, 03 Mei 2013

REVIEW 1 /PERUBAHAN STATUS BADAN HUKUM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO BAITUL MAL wa TAMWIL(BMT) di KABUPATEN PONOROGO



Perubahan Status Badan Hukum Lembaga Keuangan Mikro
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Kabupaten Ponorogo
Oleh :
Sugeng Wibowo
(Pendahuluan)
Nama: Fenita
NPM: 22211809
Kelas:2EB09



Abstarak :
Kelahiran BMT di tanah air merupakan reaksi positif terhadap gejala menguatnya peran muslim Indonesia di kancah politik pada dekade akhir kekuasaan orde baru. Melalui organisasi ICMI gagasan-gagasan penguatan ekonomi syari’ah mulai berani dimunculkan dan mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat luas sehingga tidak sampai lima tahun telah muncul bank syari’ah dan lembaga keuangan mikro BMT. Namun dalam perkembangannya, legalitas dan status badan hukum BMT ternyata menjadi masalah terutama dalam kerangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini dilaskanakan terutama untuk mengetahui pilihan perubahan badan hukum yang diambil beserta alasan-alasan dan pengaruhnya terhadap perkembangan BMT itu sendiri setelah adanya perubahan status badan hukum tersebut. Dari aspek hukum ada tiga opsi perubahan status badan hukum yang dapat dipilih BMT, yaitu : menjadi Kelompok Swadaya Masyarakat dengan sertifikasi kemitraan dari PINBUK, menjadi Koperasi Serba Usaha atau Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Jasa Keuangan syari’ah dan merubah BMT
menjadi BPR syari’ah. Dari enam BMT yang menjadi obyek penelitian ini diketahui bahwa lima BMT mengambil opsi kedua, yaitu berubah badan hukumnya menjadi koperasi, sedang yang satu tetap bertahan menjadi BMT. Setelah adanya perubahan badan hukum ternyata berpengaruh positif yaitu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi, mempermudah penyelesaian kredit macet dan mempermudah penambahan modal.
Kata Kunci : Badan Hukum, Bairul Maal wa Tamwil, Koperasi

Pendahuluan

Salah satu tema penting yang selalu mendorong setiap muslim untuk memperbaiki diri dalam kehidupan beragama adalah adanya seruan Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) 208 : Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan”. Secara normatif totalitas berislam dalam ayat tersebut dapat dipahami sebagai proses dan upaya terus menerus yang harus dilakukan setiap muslim untuk memahami agamanya dan menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan.

Pengertian ini mendukung keyakinan bahwa kehadiran Islam sebagai agama pada prinsipnya memiliki dua karakter kuat yaitu komprehensip dan universal. Komprehensip berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan mulai dari yang bersifat pribadi (ubudiyah/ritual) sampai pada persoalan sosial keumatan (muamalah). Sedang makna universal adalah ajaran Islam dapat diterapkan sepanjang waktu sampai dunia ini berakhir. Universalitas ini sangat mudah dipahami terutama dalam bidang muamalah dimana Islam memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk berkreasi dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Kebebasan ini didasarkan pada sabda nabi Muhammad SAW. yang artinya : kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu (Himpunan Putusan Tarjih :1980) sementara dalam ilmu fiqh ada ketentuan bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali yang dilarang oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.

Salah satu indikasi menguatnya keinginan muslim Indonesia untuk semakin mendekatkan diri pada nilai-nilai yang diajarkan Islam
terutama pada kehidupan sosial ekonomi adalah dengan pesatnya perkembangan lembaga keuangan berbasis syari’ah. Fenomena ini tidaklah terjadi dalam waktu singkat karena secara historis telah banyak gagasan-gagasan dari para pemikir muslim terdahulu yang bermaksud membuat formulasi sistem ekonomi Islam yang aplikable sebagai bagian dari interpretasi atas wahyu Tuhan dan sunnah para nabi-Nya.

Salah satu karya monumental yang dapat dikatakan sebagai embrio gagasan ekonomi Islam Indonesia adalah sebuah buku yang dikarang oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada tahun 1923 dengan judul sosialisme Islam. Demikian pula tokoh proklamator Bung Hatta pernah menulis bahwa pada masa pergerakan kemerdekaan sudah pernah dibentuk Institut Bank Islam yang mengganti sistem bunga dengan biaya administrasi (M. Dawam Rahardjo : 1999).

Pemikiran ekonomi Islam pada masa lalu memiliki corak sendiri terutama pada tema-tema yang diangkat diantaranya masih berkutat pada diskursus antara bunga bank dan riba – hingga sekarang masih belum tuntas – dan posisi Islam diantara kapitalisme versus sosialisme. Adapun tawaran lembaga keuangan yang dianggap sesuai syariat adalah koperasi karena dianggap representasi aktifitas ekonomi dari al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 yakni perintah untuk bekerjasama saling menolong (ta’awun) dalam kebaikan menuju ketakwaan kepad Allah SWT. Koperasi digolongkan dalam bentuk transaksi syirkah ta’wawuniyah yaitu kerjasama saling menutupi
kebutuhan sesama muslim yang membutuhkan dalam rangka mencapai kebajikan.

Wacana yang pernah berkembang tersebut lambat laun menghilang dari publik seiring dengan dominasinya keyakinan pelaku ekonomi modern yang lebih percaya pada sistem kapitalisme global untuk mensejahterakan umat manusia. Namun demikian setelah berulang kali sistem tersebut gagal menghadapi krisis di beberapa negara, maka kembali para pemikir ekonomi Islam menawarkan agar mereka berpaling kepada konsep syari’ah. Salah satu contoh negara yang menganut sistem kapitalisme yang kemudian gagal menghadapi krisis moneter adalah Indonesia pada tahun 1997-1998. Krisis ekonomi yang berawal dari depresi rupiah terhadap dólar AS, mengoyak hampir semua sendi kehidupan. Puluhan bank konvensional jatuh berguguran dan mewariskan beban kepada negara sebesar 650 trilyun untuk pemulihan ekonomi nasional. Sementara bank syari’ah tetap tegar dan mampu membuktikan keraguan sebagian kalangan terhadap survivalitas dan daya tahan sistem syari’at dalam menghadapi badai ekonomi.

Sementara isu yang diangkat oleh ekonom muslim kontemporer telah melaju lebih cepat dengan merambah hampir semua tema tentang ekonomi modern baik pada tataran teori maupun praktek. Semangat yang ingin dibangun tampaknya berupa kesadaran beragama yang tidak berhenti pada wacana tetapi langsung diterapkan (ilmu amaliah) dengan segala resiko yang harus ditanggung. Salah satu dampak yang dapat dirasakan karena prinsip tersebut adalah kenyataan bahwa negara dan pemerintah belum siap merespon
keinginan masyarakat muslim dalam bentuk perangkat hukum berupa undang-undang sebagai pijakan dasar dalam mendirikan dan mengembangkan institusi syariat tersebut. Sebagai contoh ada beberapa lembaga keuangan syariah yang kelahirannya menunggu adanya perubahan undang-undang, diantaranya :
 (1) bank syari’ah. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga keuangan pertama di Indonesia yang menggunakan sistem syari’ah adalah Bank Muamalah Indonesia (BMI). Ketika akta pendirian PT. BMI ditandatangani pada tanggal 1 november 1991 dan beroperasi sejak tanggal 1 mei 1992, pijakan hukum yang digunakan adalah undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang sama sekali belum mengatur jenis-jenis usaha sistem syari’at. Acuan yuridis yang mengesahkan keberadaan bank syari’ah pertama di Indonesia tersebut adalah adanya perubahan diktum jenis perbankan di Indonesia yang semula hanya mengakui dan mengatur sistem bunga, kemudian ditambah dengan diakuinya sistem bagi hasil. Untuk memperjelas pelaksanaan perubahan tersebut keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1982 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Perubahan pasal tersebut sangat mungkin terjadi pada saat itu karena ada political will (intervensi) langsung dari Presiden RI kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan inilah salah satu amal jariyah Presiden Soeharto dan Orde Baru terhadap perekonomian syariat di Indonesia. Undang-undang perbankan mengalami perubahan yang dignifikan baru pada era reformasi dengan terbitnya undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yang mengatur secara rinci landasan hukum dan jenis usaha yang dapat diimplementasikan oleh Bank Syari’ah.
(2). Asusransi syari’ah / takaful. Menyusul berdirnya Bank Syariah berkembang pula gagasan mendirikan asuransi syariah/takaful dan baru terealisir pada tahun 1994 dengan mengacu pada undang-undang perasuransian tahun 1992 yang belum mengatur sistem takaful.
(3). Investasi pada pasar modal telah berjalan cukup lama. Namun baru pada tahun 2006 regulasi penerbitan efek syari’ah diakomodir melalui Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan Lembaga Keuangan (LK) nomor. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syari’ah dan Lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lemaga Keuangan Nomor Kep.-130/BL/2006. Dengan terbitnya aturan tersebut maka bagi setiap muslim yang bertransaksi melalui pasar modal dapat menghindari produk yang haram dan melakukan pilihan terhadap produk halal karena telah mendapat rekomendasi dari Dewan Syari’ah Nasional (Adiwarman karim : 2010).
(4). Dana pensiun syari’ah. Bagi lembaga yang mempekerjakan orang lain dan agar mereka ada jaminan bisa hidup layak pada masa pensiun sangat merindukan akan adanya lembaga yang mengelola dana pensiun secara syari’i. Padahal dalam Undang-Undang nomor 11tahun 1992 tentang Dana Pensiun serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 sudah diatur dengan rinci investasi Dana Pensiun hanya dapat ditempatkan pada sekitar 15 jenis transaksi (pasal 6 ayat 1). Dari sekian banyak instrumen perangkat investasi tidak semua dibenarkan syari’at Islam. Perubahan
undang-undang tersebut yang mengakomodir prinsip syari’ah baru dijanjikan oleh pemerintah melalui Prolegnas tahun 2011.
(5) Baitula mal wa tamwil (BMT). Yang dimaksud BMT disini adalah lembaga keuangan mikro yang kelahirannya dibidani oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1995 melaui Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Persoalan badan Hukum BMT ini bermuara dari adanya stagnasi pembinaan yang cukup panjang dari PINBUK. Oleh karena itu maka beberapa BMT di daerah memutusakan untuk tidak lagi memiliki hubungan struktural dengan PINBUK sebagai induk yang melahirkannya. Dari sinilah muncul persoalan hukum yang harus diputuskan oleh pengelola BMT. Karena apabila tetap mempertahankan kelembagaanya sebagai BMT yang sesungguhnya bersfungsi sebagai lembaga keuangan, maka BMT tersebut bertentangan dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan terutama pasal 16 (1) bahwa kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh bank umum dan BPR. Padahal dalam kenyataanya BMT-BMT tersebut sejak awal berdirinya telah melakukan kegiatan sebagaimana dimksudkan dalam pasal diatas, sehingga tidak sedikit yang telah memiliki aset milyaran rupiah.

Demikian pula apabila dipaksakan kedalam katagori koperasi, struktur organisasi BMT yang ada sama sekali tidak masuk dalam pengertian koperasi. Salah satunya karena mekanisme penyertaan modal dilaksanakan dengan penjualan saham dan pertanggungjawaban pengelola kepada pemegang saham melalui semacam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). organisasi yang demikian lebih dekat dengan badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) dan bertentangan dengan undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian.

Oleh karena itu ada tiga opsi badan hukum yang dapat dipilih bagi BMT. Pertama, menjadi Kelompok Swadaya Masyarakat dengan sertifikasi kemitraan dari PINBUK. Dengan demikian badan hukumnya masih tetap pada PINBUK sedang kelompok yang ada didaerah merupakan perwakilan atau kemitraan yang memiliki otonomi tertentu dengan tetap terikat secara struktural dengan induk organisasinya. Kedua, berubah menjadi Koperasi Serba Usaha atau Koperasi Simpan Pinjam. Apabila pilihannya jatuh pada bentuk koperasi, maka ketentuan undang-undang terikat dengan UU nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Dimana keanggotaan dan mekanisme permodalannya sangat berbeda. Ketiga , berubah dari BMT menjadi BPR syari’ah. Pendirian BPRS sebenarnya lebih strategis dibandingkan dua pilihan diatas, namun dari kecukupan modal serta sumberdaya manusianya harus benar-benar dipersiapkan dengan profesional. Apabila selama ini pengelolaan BMT sebagian dapat ditangani paruh waktu, maka apabila menjadi BPRS tidak lagi dimungkinkan karena memerlukan ketrampilan dan manajemen yang lebih baik.

Kelahiran BMT di tanah air merupakan reaksi positif terhadap gejala menguatnya peran muslim Indonesia di kancah politik pada dekade akhir kekuasaan orde baru. Melalui organisasi ICMI gagasan-gagasan penguatan ekonomi syari’ah mulai berani dimunculkan dan mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat luas
sehingga tidak sampai lima tahun telah muncul bank syari’ah dan lembaga keuangan mikro BMT. Secara nasional keberadaan BMT mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pada tahun 1992 berdiri satu BMT rintisan, kemudian pada akhir tahun 1998 telah berkembang menjadi 1.957 (Zainul Arifin :1999). Sedang target pengembangan yang dipatok ICMI sampai tahun 2010 mencapai 10.000 BMT di seluruh Indonesia. Banyaknya target pengembangan tersebut akan sulit dicapai terutama dengan melihat adanya kecenderungan BMT-BMT dibeberapa daerah berusaha melepaskan hubungan struktural dengan ICMI. Salah satu alasan utama pemisahan tersebut karena menghadapi persoalan statsus badan hukum yang dapat mengancam masa depan BMT terutama ketika harus berhadapan dengan pengguna jasa keuangan yang bermasalah dan kompetisi usaha sejenis yang semakin banyak.

Secara yuridis apabila ada aktivitas ditengah masyarakat yang diatur oleh ketentuan peraturan tertentu, maka diharuskan untuk didaftarkan dan mendapat pengakuan formal dari institusi atau pejabat yang diberi wewenang. Hal tersebut dilakukan agar dapat melindungi hak dan kewajiban masing-masing fihak sehingga tidak ada yang dirugikan, sekalipun ada permasalahan yang berpotensi melanggar dan merugikan fihak lain maka mekanisme penyelesaiannya telah diatur sedemikian rupa. Disinilah pentingnya status badan hukum pada setiap kegiatan. “orang” (person) dalam dunia hukum adalah subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia adalah pembawa hak (subyek hukum) dan mampu melakukan perbuatan hukum atau mengadakan hubungan hukum yang harus diikuti dengan
adanya kecakapan hukum (rechsbekwaamheid) dan kewenangan hukum (rechtsbevoedgheid). Oleh karena itu, yang dimaksud dengan badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai subyek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, meskipun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya dilakukan melalui pengurusnya (A.Ridwan Halim :2005).

Dilihat dari macamnya, subyek hukum terdiri dari Naturlijke Persoon (natural person) yaitu manuisa pribadi (Pasal 1329 KUHPerdata) dan Rechtspersoon (legal entitel) yaitu badan usaha yang berbadan hukum (Pasal 1654 KUHPerdata). Sedang dari segi materinya terbagi atas ; pertama, Badan Hukum Publik (publiekrecht), yaitu badan hukum yang mengatur hubungan antara negera dan atau aparatnya dengan warga negara yang menyangkut kepentingan umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tatanegara, hukum tata usaha negara, hukum internasional dan lain-lain (contoh : Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia). Kedua, Badan Hukum Privat (privaatrecht), yaitu perkumpulan orang yang mengadakan kerjasama (membantu badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan hukum privat yang bertujuan privit oriented (contoh : Perseroan Terbatas) atau Non material (contoh : Yayasan.).

Penelitian ini dilaksanakan terutama untuk mengetahui pillihan perubahan badan hukum yang diambil beserta alasan-alasannya dan pengaruhnya terhadap perkembangan BMT itu sendiri setelah adanya perubahan status badan hukum tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo dengan alasan utama karena jumlah BMT yang ada termasuk paling banyak dan sudah cukup lama keberadaanya diakui oleh masyarakat, dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Timur.

Penelitian ini mendasarkan pada satu dari lima konsep hukum yang dikembangkan Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik pada perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka. Penulis menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran berbagai pihak yang terkait secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi data akurat yang diperlukan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam katagori penelitian hukum non doktrinal dengan pendekatan mikro, sedang análisis yang digunakan berupa analisi kualitatif (Burhan Ashshofa; 2001), pengertian non doktrinal karena yang dikaji bukan undang-undang perbankan melainkan, perubahan badan hukum sebagai konsekuensi dari adanya undang-undang tersebut serta implikasi sosialnya. Sesuai dengan tema yang dikaji, maka penelitian ini bersifat deskriptif yaitu memaparkan secara jelas obyek penelitian sehingga mampu menjawab permasalahan yang telah ditentukan.

Penelitian hukum sosiologis/non doktrinal membutuhkan data-data yang lengkap untuk mengidentifikasi suatu hal secara empiris dan data sekunder sebagai dasar kekuatan mengikat ke dalam. Sumber data dapat berupa manusia, peristiwa, tingkah laku, dokumen dan
arsip serta berbagai benda lain (HB. Soetopo; 1992:2). Oleh karena itu untuk mendapatkan materi dilakukan wawancara informan yang telah ditetapkan sebelumnya yang dianggap mengerti dan tahu permasalahan yang diteliti, yaitu pengurus dan pengelola BMT. Sedang sumber data sekunder ini merupakan lahan penelitian yang sifatnya tidak mengikat langsung, diperoleh dari bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier (Soerjono Soekamto; 1986: 13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar