Jumat, 03 Mei 2013

REVIEW1/ STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA




STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA
Oleh: Nike K. Rumokoy
(Pendahuluan)
Nama: Fenita
NPM:22211809
Kelas:2EB09


A. PENDAHULUAN
Dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa
tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait
dengan sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor-sektor
tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak
asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping
itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang
ekonomi.2

Politik hukum di Indonesia yang telah mengarahkan pembangunan
hukum pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tampaknya sudah
sangat mendesak untuk direalisir dengan program yang nyata oleh
Pemerintah. Namun yang patut mendapat perhatian, jangan sampai terjebak
lagi dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi an sich, tanpa
memerhatikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat miskin, sebagaimana
yang dilakukan pada era Orde Baru.

Cina sebagai macan asia yang menjadi salah satu Negara yang
terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total,
menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa
memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang
ada.
Since the beginning of the 1980s, rapid development of
China’s system of vesting legislative power is inevitable. An
important legal mechanism for a modern country to
strengthen administration, this system of vesting legislative
power also promotes development of the state, a reflection of
the positive consequences of the re-establishment of China’s
legal system and the restructuring of its economy.3

Pemerintah Orde Baru menyelenggarakan pembangunan dengan
mengultuskan pertumbuhan eknomi melalui pendekatan ekonomi gaya
trickle dwon effect. Secara teoritis jika orang kaya meninvestasikan uangnya
 di sektor riil, infrastruktur dan pasar modal, maka akan ada kegiatan ekonomi
yang bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih kecil, dan membuat
persaingan dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada akhirnya harga
akan terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat tersebut.
Dengan penggunaan strategi tersebut, diharapkan konglomerat-konglomerat
yang telah ‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’ rezekinya pada
masyarakat miskin, sehingga terjadi pemerataan ekonomi. Pada saat itu,
program pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia
internasional, diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya
memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah
satu Negara Asia yang mendapat julukan ‘keajaiban Asia’. Disamping itu,
lembaga keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji
keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia. 4

Namun demikian, ternyata pertumbuhan ekonomi tinggi
diperlihatkan oleh Pemerintah Soeharto tersebut merupakan window dressing
yang digunakan untuk mengelabui mata dunia dan masyarakat Indonesia.
Fundamental ekonomi yang digunakan untuk menopang pertumbuhan tinggi
tersebut sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan konglomerat dan
dunia perbankan yang pada saat itu menjadi tulang punggung dan senantiasa
mendapatkan keistimewaan dari pemerintah ternyata bukan entrepreneur dan
banker dalam arti yang sebenarnya, tetapi mereka hanya rent seeking
(pemburu rente) dan para penjarah kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia.
Akibatnya ‘tetesan’ rezeki ke masyarakat miskin yang kemudian akan
berbuah kemakmuran dikonsepkan para arsitektur ekonomi ternyata tidak
pernah terjadi.

Puncak dari semua permsalahan ini adalah ketika terjadinya krisis
moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian
bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya
reformasi, krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada krisis lainnya
seperti krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di Inonesia,
sebagaimana yang digambarkan oleh Harold Crouch:
Economic disruption brought great suffering to much of the
population and contributed to regular outbreaks of social
conflict, including several ethnic and religious clashes, in
various part of the country. Long-standing separatist
demands in aceh and irian Jaya gained increasing popular support and East Timor won its independence following a
UN supervised referendum.5

Konsekuensi demikian seharusnya sudah dapat diketahui dan
diantisipasi ketika optik sejarah diarahkan pada kali pertama munculnya
terminologi trickle dwon effect. Di Amerika, pada saat kepemimpinan Ronald
Reagan, kebijakan ekonomi trickle dwon effect ini dikenal dengan
Reaganomic atau supply side economics. Inti dari kebijakan ini adalah
pengurangan pajak bagi orang-orang kaya, agar uangnya dapat diinvestasikan
pada bisnis-bisnis yang mempunyai dampak luas.

Hal ini tidak jauh berbeda diikuti oleh Bill Clinton, dan selanjutnya
Georgr W. Bush yang juga mengurangi pajak orang kaya pada awal 2001,
yang mencakup pengurangan pajak untuk capital gain, pajak penghasilan dan
pajak perusahaan.6 Pendekatan ekonomi semacam ini sebenarnya telah lama
diterapkan di Amerika, yaitu sejak medio 1890-an dengan nama ‘horse an
sparrow theory’. Teori ini menjelaskan bahwa ketika kita memberi makan
kuda berupa gandum yang cukup, maka akan terdapat ceceran gandum yang
dapat dinikmati oleh sekelompok burung gereja. Lalu mengapa hanya
‘ceceran gandum’ yang harus dibagikan, sementara jumlah burung gereja
jauh lebih besar populasinya dibandingkan kuda. Inilah titik lemah konsep
trickle dwon effect disektor pemerataan yang banyak menuai kritik dan
mengalami pergeseran dalam kaitannya untuk mewujudkan Negara
kesejahteraan. Namun kelemahan ini agaknya berhasil dimaksimalkan oleh
entrepreneur gadungan dan bankir pemburu rente yang luput dari arahan
konseptor ekonomi orde baru. Beragam keistimewaan dan kemudahan yang
diberikan pemerintsh tidak berwujud dalam kesejahteraan rakyat sebagai
konsekuensi dari efek tetesan yang dimaksud.

Pada saat itu hukum yang seharusnya digunakan untuk memandu
sekaligus sebagai landasan bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam menjalankan
aktivitasnya tidak pernah mendapatkan perhatian atau bahkan dilecehkan
keberadaannya. Hukum yang digunakan untuk mengatur aktivitas ekonomi
adalah ‘hukum konglomerat’, maksudnya hanya konglomerat yang dekat
dengan keluarga cendana yang mendapat berbagai fasilitas istimewa7 dan
mengontrol aktivitas ekonomi di Indonesia.

Di era reformasi seperti sekrang ini, yaitu ketika masyarakat
mempunyai komitmen untuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi
dan bidang hukum, kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, ketika hokum
senantiasa ditelantarkan, sebaiknya tidak terulang kembali. Untuk itu, tepat
kiranya pada saat kondisi ekonomi Indonesia masih belum pulih seperti
sekarang ini kita mulai memberikan skala prioritas utama pada pembangunan
hokum ekonomi di Indonesia, agar bisa digunakan sebagai pondasi dan
pemandu para pelaku-pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya. Itulah
sebabnya, pemerintah Indonesia tidak hanya harus memusatkan perhatian
kepada pemulihan ekonomi, melainkan juga harus meletakkan dasar bagi
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lebih efisien dan lebih merata.

Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas
‘reformasi’ untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten
dengan tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan
secara berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.

Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah
secara sadar dan mendasar system hukum ekonomi yang selama ini
berkualitas ‘liberal’ dan dibawah kendali Negara-negara maju menjadi
system hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah) atau
kerakyatan, sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33
UUD 1945. System hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau
‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan system hukum yang tidak
sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada
rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian
diintegrasikan secara timbal balik dengan system ekonomi Pancasila.

Maka diperlukan sebuah penafsiran hukum yang mengarah pada
penegakan hukum yang lebih menjunjung nilai moral dan nilai keadilan,
tidak terpaku pada penegakan hukum yang kaku hanya pada undang-undang
saja, tanpa memandang berani menafsirkan hukum demi terwujudnya
keadilan. Indonesia sebagai Negara yang menganut positivism hukum, harus
berani keluar dengan memberikan penafsiran-penafsiran yang luas demi
terwujudnya keadilan. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa A
number of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s
objectivity.8

Pembangunan hukum yang bersifat ‘revolusioner’ pernah juga
dilakukan oleh Jepang pada tahun 1868, pada saat itu Kaisar Meiji mengeluarkan dokumen penting yang memuat kebijaksanaan dasar untuk
mengubah Jepang Feodal menjadi Negara modern, seperti penghapusan
wilayah-wilayah feodal ke dalam provinsi, sistem militer wajib, sistem pajak
terpusat, serta penghapusan hak-hak feodal dan kelas prajurit. Dengan
pendekatan ‘revolusioner’ diharapkan pencapaian Visi Indonesia 2030
dilandasi dan dituntun oleh suatu sistem hukum ekonomi yang bersumber
dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta norma-norma yang
hidup ditengah masyarakat (hukum adat dan hukum Islam).

Strategi pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga
memerhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi yang berkelanjutan
(sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan
tidak lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam
suatu undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi
memerhatikan aspek yang lain.

Aspek-aspek yang dimaksud disini mencakup berbagai dimensi
yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga anasir sebagai
berikut: (1) structur, (2) substance, dan (3) legal culture9. Ketiga aspek ini
diambil dari pendapat Lawrence M. Freidman, yang mana pendapat ini sering
dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian sistem hukum di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar