Jumat, 03 Mei 2013

REVIEW 2 / PERUBAHAN STATUS BADAN HUKUM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO BAITUL MAL wa TAMWIL (BMT) di KABUPATEN PONOROGO



Perubahan Status Badan Hukum Lembaga Keuangan Mikro
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Kabupaten Ponorogo
Oleh :
Sugeng Wibowo
(Hasil dan Pembahasan)
Nama: Fenita
NPM: 22211809
Kelas:2EB09

HASIL DAN PEMBAHASAN
Badan Hukum BMT

Di Kabupaten Ponorogo rintisan berdirinya BMT dipelopori oleh Persyarikan Muhammadiyah, yaitu organisasi sosial keagamaan modern yang memiliki kepedulian untuk mengembangkan Islam dalam berbagai kehidupan terutama ekonomi kerakyatan. Pada tahun 1998 terdapat 16 BMT yang tersebar merata di beberapa Pimpinan Cabang Muhammadiyah (setingkat kecamatan). Kemudian pada tahun 2001 telah berkembang menjadi 24 BMT baik sebagai bentuk ekspansi pengembangan usaha dari BMT yang telah ada, maupun BMT yang berdiri sendiri. Namun demikian sampai tahun 2010 tidak semua BMT bertahan menghadapi kompetisi usaha sehingga hanya 6 BMT yang tersisa.

Sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa tiga opsi perubahan status badan hukum yang dpat dipilih oleh BMT, yaitu :
a. Menjadi Kelompok Swadaya Masyarakat dengan sertifikasi kemitraan dari PINBUK
b. Berubah menjadi Koperasi Serba Usaha (KSU) atau Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
c. Merubah BMT menjadi BPR syari’ah.

Dari tiga opsi tersebut sebagian besar pengurus BMT yang ada di Kabupaten Ponorogo memilih opsi kedua, yaitu merubah badan hukum BMT menjadi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) (sebanyak 4 BMT) dan Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah (1 BMT). Sementara hanya ada satu BMT di Babadan yang tetap menjadi BMT tidak mau berubah menjadi koperasi.

Hasil wawancara dengan beberapa pengurus dan jajaran manajer BMT yang berbeda-beda di Kabupaten Ponorogo diketahui sejumlah perimbangan dalam memilih opsi diatas, antara lain: Menjadi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan kemitraan dari PINBUK maka secara otomatis masih memiliki hubungan dan keterikatan secara struktural dengan PINBUK. Padahal selama beberapa tahun, PINBUK sama sekali tidak mengadakan pembinaan terutama disaat BMT-BMT di daerah mengalami persoalan kepastian hukum sebagai tuntutan perundang-undangan yang ada serta persaingan usaha jasa simpan pinjam. Namun demikian pada sisi lain dengan adanya masa stagnasi pembinaan tersebut ternyata memunculkan sikap dan kepercayan diri dikalangan BMT yang masih
bertahan di daerah untuk lebih mandiri memisahkan diri dari PINBUK.

Salah satu kesulitan yang dihadapi BMT didaerah terutama pada tahap awal pendirian adalah ketersediaan modal yang diputar untuk simpan pinjam. Semula dengan memiliki hubungan dengan PINBUK ada harapan bantuan modal usaha baik yang langsung dikucurkan oleh PINBUK maupun sekedar informasi program pemerintah pusat. BMT didaerah sangat membutuhkan informasi tersebut dan mengharapkan peran yang dilakukan oleh PINBUK adalah mencari akses pada lembaga pemerintah serta mendampinginya. Namun harapan tersebut tidak dapat tercapai sehingga kontribusinya terhadap penambahan modal pada BMT di daerah dapat dikatakan tidak ada. Peran ini sangat penting untuk menghindari munculnya kasus penyalahgunaan modal dari pemerintah sebagaimana yang pernah terjadi pada banyak lembaga simpan pinjam yang terjerat kasus KUT yang berujung di pengadilan dan penjara bagi pengurusnya.

Redupnya pengaruh ICMI Kabupaten Ponorogo sebagai organisasi kemasyarakatan agama yang berperan penting dalam menumbuhkembangkan ekonomi kerakyatan. Hal ini sebanarnya merupakan imbas langsung dari kondisi serupa yang dialami ICMI secara nasional. Pengaruh langsung keadaan yang demikian terhadap keberadaan BMT sebenarnya dapat dikatakan hampir tidak ada. Namun demikian usaha yang digeluti BMT adalah jasa simpan pinjam yang terkait langsung dengan kepercayaan masyarakat (trust). Ketika kepercayaan tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik,
maka segala upaya dan program yang dibuat akan berjalan dengan baik, demikian pula sebaliknya.

Berubah menjadi Kopeasi serba Usaha (KSU). Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah (KJKS). Ada keyakinan yang kuat dikalangan pengurus BMT bahwa koperasi adalah merupakan bentuk yang paling Islami diantara bentuk badan hukum yang lain. Dalam Islam dikenal istilah ta’awun atauu sikap saling menolong antar sesama atau kerjasama dalam kebaikan. Maka prinsip-prinsip koperasi pada dasarnya merupakan bentuk kerjasama antar anggota dalam menyelesaikan masalah finansial yang dihadapi. Anggapan ini dapat dibenarkan terutama dalam kontek koperasi yang tumbuh dan berkembang dari anggota untuk anggota. Sementara dalam perkembangan terakhir sebagi konsekuensi dari peraturan perundang-undangan yang ada, maka koperasi bisa saja dikembangkan hanya berorientasi pada pencarían keuntungan semata dengan mengesampingkan kesejahteraan anggota. Fenomena ini terjadi terutama bagi koperasi yang dimiliki oleh para pengusaha besar yang telah memiliki modal kuat yang kemudian mendirikan koperasi dalam rangka mengembangkan usaha. Dalam kasus seperti inilah sesungguhnya konsep koperasi tidak lagi memiliki relevansi dengan ta’awun sebagaimana dikenal dalam Islam.

Badan hukum koperasi serba usaha atau simpan pinjam telah memiliki aturan yang jelas berupa undang-undang será peraturan dibawahnya. Secara umum keberadan koperasi di Indonesia sangatlah kuat karena merupakan amanah dari UUD 1945 pasal 33. Untuk mempertegas jatidiri, kedudukan, permodalan dan pembinaan koperasi
maka terbitlah undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Secara operasional koperasi diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Koperasi Khusus untuk Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah (KJKS) diatur sendiri dengan Kepmen Koperasi dan UKM Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha KJKS. Untuk kepentingan monitoring KJKS terbit Permen Koperasi dan UKM nomor : 39/Per/M.KUM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan KJKS dan Unit Jasa Keuangan Syari’ah. Dengan demikian semua jenis kegiatan dan segala implikasi hukumnya bisa dipertanggungjawabkan baik kepada anggota maupun masyarakat. Lengkapnya perundang-undangan tentang koperasi khusunya yang berbasis syari’ah merupakan keharusan untuk merespon tuntutan masyarakat yang menginginkan transaksi simpan pinjam dengan sistem syari’ah. Disamping itu respon pemerintah yang sangat akomodatif terhadap sistem syari’ah ini karena pengalaman selama krisis ekonomi, semua jenis lembaga keuangan yang berbasis syari’ah ternyata mampu bertahan serta eksis di hantam krisis. Sementara lembaga keuangan dengan sistem konvensional banyak yang mengalami masalah bahkan hancur.

Sebagai konsekuensi logis dari peraturan perundang-undangan diatas, maka struktur pembinaan dan pengawasan koperasi melekat pada jajaran birokrasi mulai dari pusat yaitu Kementrian Koperasi dan UKM sampai tingkat daerah pada dinas Indakop. Intansi tersebut oleh undang-undang diberi wewenang dan perijinan sampai
pengawasan. Disamping itu melalui APBN dan APBD menyediakan sejumlah kegiatan pembinaan dan kadang-kadang juga dana yang dapat digunakan untuk memperkuat modala usaha. Mengenai dana tambahan modal biasanya tidak langsung memberikan bantuan namun hanya bersifat administratif. Misalnya ada skema pinjaman DBS (Dana Bergulir Syari’ah) dari APBN melalui Kementrian Koperasi dan UKM. Persyaratan untuk mendapat bantuan tersebut harus berbadan hukum koperasi dan setelah diberikan diharapkan koperasi tersebut berubah menjadi KJKS. Dalam prakteknya tidak semua KJKS yang menikmati dana tersebut otomatis menjadi KJKS namun tetap bertahan.

Fungsi lain dari Indakop yang dianggap memiliki peran langsung terhadap KSP dan KJKS adalah monitoring tiga bulanan melalui laporan yang harus diserahkan setiap koperasi. Meksipun mekanisme ini merupakan stándar birokrasi yang bersifat rutin, namun memiliki dampak yang signifikan bagi pengelolaan koperasi. Prinsip prudential atau kehati-hatian terutama pada aspek pembukuan sangat diperhatikan dengan harapan memiliki implikasi pada institusi berupa kepercayaan masyarakat yang semakin tinggi.

Mempermudah penyelesaian kredit macet. Pada waktu masih menggunakan istilah BMT, nasabah yang mengalami masalah
Pengembalian hutang (kredit macet) biasanya lebih sulit diselesaikan karena ada anggapan BMT adalah merupakan lembaga filantropi yang bisa memaklumi adanya kesulitan nasabah. Disamping itu tidak ada keharusan bagi orang yang mau menggunakan jasa BMT untuk
menyerahkan jaminan (borg), sehingga apabila macet tidak ada yang dapat disita untuk menutup kerugian. Namun dengan berubah menjadi KSP dan KJKS, secara kelembagaan memiliki keberanian untuk bersikap lebih tegas, baik melalui petugas lapangan maupun melalui jasa yang khusus manangani kredit macet tersebut.

Berubah menjadi Bank Pembiayaan syari’ah (BPRS). Untuk berubah menjaadi Bank Pembiayaan syari’ah (BPRS) para pengurus merasa berat terutama dalam mendapatkan ijin operasional dari Bank Indonesia. Dari sisi kecukupan modal awal, sebenarnya berdasarkan Peraturan Bank Indonesia nomor : 2/27/PB/2000 jo PBI nomor “ 6/22/PBI/2004, dari 4 BMT yang dikelola oleh Muhammadiyah telah memenuhi syarat minimal yaitu Rp. 500 juta modal disetor untuk BPRS diluar Jabodetabek dan kota propinsi. Rata-rata BMT tersebut telah memiliki aseta lebih dari 1.5 milyar. Namun karena prosedur BPRS sangat rumit maka tidak ada satupun BMT yang memilih opsi ini. Badan hukum BPRS adalah Perseroan Terbatas (PT) yang ketentuan hukumnya diatur melalui undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Perseroan Terbatas. Perbedaan mendsar antar PT pada umumnya dengan PT perbankan adalah adanya proses fit and proper test bagi jajaran komisaris, direksi dan perwakilan pemegang saham yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai persyaratan untuk mendapatkan persetujuan prinsip yang dikeluarkan oleh Gubernur Bank Indonesia. Oleh karena itu diperlukan seperangkat fasilitas dan SDM yang berpengalaman serta instrumen lain yang cukup tidak mudah.

BMT yang telah berdiri kebanyakan memiliki unit usaha pada sektor riil yaitu ritail di masing-masing wilayah usahanya. Dengan berubah menjadi BPRS maka usaha sektor riil tersebut secara otomatis akan ikut berubah dengan status badan hukum yang terpisah dari BPRS. Ketentuan ini berlaku untuk Perseroan Terbatas (PT) pada perbankan dimana kegiatan usaha tidak boleh diluar bidang usaha pokoknya yaitu perbankan. Sedang pada Perseroan Terbatas umum selain perbankan boleh melakukan kegiatan usaha lebih dari satu bidang.

Proses Perubahan badan Hukum dari BMT menjadi KSP atau KJKS

Tahapan yang paling sulit dalam proses perubahan badan hukum BMT terletak pada konversi Simpanan Pokok Khusus (sejenis saham) menjadi Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib anggota koperasi. Sebagaimana ketentuan dalam koperasi bahwa setiap anggota hanya boleh berperan dengan memberikan kontribusi berupa modal dalam bentuk simpanan pokok dan simpanan wajib dan atau simpanan lainnya yang ditetapkan dalam rapat anggota. Sedangkan pada BMT penyertaan modal bagi anggotanya berupa Simpanan Pokok Khusus (SPK) yang secara teknis status dan bentuknya seperti saham, sehingga bagi anggota BMT bisa memiliki lebih dari satu Simpanan Pokok Khusus (saham). Pada awal berdirinya BMT di Ponorogo nilai Simpanan Pokok Khusus (SPK) rata-rata sekitar Rp. 25.000. sedangkan jumlah total modal yang harus dipersiapkan minimal Rp. 5.000.000 sehingga jumlah Simpanan Pokok Khusus
(saham) yang disedikan sebanyak 200 lembar. Sejak Simpanan Pokok Khusus (saham) diinvestasikan melalui BMT telah terjadi peningkatan nilai jual sampai 100%. Sehingga yang semula nilai per-simpanan Pokok Khusus (saham) Rp. 25.000 maka sampai tahun 2005 menjadi senilai Rp. 50.000. Sebagai ilustrasi proses konversi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : apabila seorang anggota memiliki 5 lembar saham maka anggota tersebut memiliki uang senilai Rp. 50.000 x Rp. 5.000 = Rp. 250.000, sementara dalam rapat anggota BMT dalam rangka merubah status badan hukum disepakati bahwa apabila telah berubah menjadi koperasi maka Simpanan Pokok Anggota ditentukan sebesar Rp. 1.000.000. oleh karena itu, bagi anggota yang memiliki 5 lembar Simpanan Pokok Khusus (saham) masih harus menambah Rp. 750.000. Secara teknis disepakati bahwa uang tersebut akan dibayar melalui SHU setaip tahun pada acara Rapat Anggota Tahunan. Disalah satu KSP di daerah Jenangan kesepatan tersebut baru dapat diituntaskan pada tahun 2011, dimana semua anggota koperasi secara de fakto telah memiliki Simpanan Wajib sesuai dengan keputusan RAT.

Mempersipakan kelengkapan legalitas atau Akta Pendirian Koperasi seta mencoba memenuhi indikator sebagai koperasi yang sehat diantaranya memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART), struktur organisasi, visi, misi, tujuan, program kerja, job diskription dan lain-lain sebagamana ketentuan yang ada. Pada proses kedua ini tidak memiliki masalah yang berarti karena kebanyakan pengurus BMT terdiri dari aktivis-aktivis ormas keagamaan yang sudah terbiasa menyusun konsep
dengan baik. Setelah kelengkapan pendirian koperasi selesai dipersiapkan, maka tahap berikutnya adalah pengajuan permohonan Akta Pendirian Koperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar