Jumat, 03 Mei 2013

REVIEW3 /STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA



STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA
Oleh: Nike K. Rumokoy
(Pembahasan)
Nama: Fenita
NPM:22211809
Kelas:2EB09




C. PEMBAHASAN
Salah satu prasyarat dari pencapaian Visi Indonesia 2030 yang
dilupakan para penyususnnya adalah adanya penegakan etika bisnis yang
konsisten. Hal ini dirasakan penting karena penyebab terpuruknya ekonomi
Indonesia yang dalam menjalankan bisnisnya tidak mengabdi pada
kepentingan nasional, tetapi justru menjarah harta rakyat untuk dibawa ke
luar negeri. Itu semua disebabkan karena sejak pertama kali menjalankan
bisnisnya, para konglomerat tersebut tidak melandasi kegiatan ekonomi dan
bisnisnya dengan etika bisnis yang kuat.

Di Indonesia, khususnya di lingkungan pelaku ekonomi, keberadaan
etika bisnis tampaknya masih merupakan suatu konsep. Naskah kode etik
pengusaha Indonesia sejak tahun 1989 telah disetujui oleh rapim Kadin
(Kamar Dagang dan Industri) untuk disosialisasikan dan ditegakkan di
lingkungan pengusaha. Namun dalam tataran praktis, masyarakat dengan
mata telanjang telah melihat kekotoran sepak terjang pengusaha-pengusaha
Indonesia dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Menurut I.S. Susanto,
dimensi etik dikalangan bisnis sangat tipis bahkan terabaikan. Dalam suatu
Negara yang masyarakatnya beragama, mempunyai idiologi Pancasila, dan
masih menjunjung nilai moral, kondisi tersebut tampak sangat
memprihatinkan.

Konsep etika bisnis, yang didalamnya mengandung prinsip
otonomi, prinsip kejujuran, prinsip tidak berbuat jahat, prinsip kejujuran,
prinsip tidak berbuat jahat, prinsip keadilan dan prinsip hormat kepada diri
sendiri, jelas merupakan suatu konsep yang sifatnya universal bagi manusia
yang beradab, dan sudah seharusnya konsep tersebut dijadikan pemandu
didalam pergaulan bisnis sehari-hari.

Peran moral dalam etika bisnis tersebut dalam praksis tidak hanya
sekedar penerapan etika umum pada kegiatan bisnis, tetapi bisa berkembang
hingga ketaraf metaetika. Sebab bisnis modern saat ini, merupakan realiatas
yang sangat kompleks. Banyak faktor turut memengaruhi dan menentukan
keberhasilan kegiatan bisnis, antara lain faktor organisatoris manajerial,
ilmiah teknologis, dan politik sosial-kultural. Kompleksitas bisnis sebagai
kegiatan sosial tersebut, merefleksikan hubungan bisnis dengan kompleksitas
masyarakat modern miliu terkini. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan
banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua
faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern ini memerlukan arahan
dan kode etik agar mengantarkan kegiatan bisnis yang sehat dan bermoral,
memapar motivasi, kemauan dan tujuan suatu tindakan dalam kegiatan bisnis
membongkar latar belakang tindakan-tindakan bisnis, prinsip-prinsip dalam
bisnis,hingga menyelami kesusilaan dan pernyataan etika didalam kegiatan
bisnis.

Dalam sistem hukum ekonomi kerakyatan atau kekeluargaan yang
lebih member penekanan pada rule of law, etika bisnis tampaknya perlu
mendapat perhatian yang besar dan diusahakan ikut mewarnai kegiatan
ekonomi. Hal ini memang suatu tandatangan yang berat, karena selama ini di
lingkungan dunia bisnis terlanjur melekat suatu ‘mitos bisnis amoral’.
Dengan mitos seperti itu, pelaku bisnis senantiasa menganggap ‘bisnis adalah
bisnia’ atau ‘bisnis jangan dicampurkanadukkan dengan etika’. Dalam hal ini
bisnis dipandang sebagai kegiatan netral yang bebas nilai terlepas dari
konteks moral atau dengan kata lain tidak berhubungan dengan nilai-nilai
kebaikan maupun kejahatan.

Hal ini sependapat dengan yang dikatakan oleh Kofi A. Annan,
bahwasanya ekonomi dan kewajiban social merupakan dua mata uang yang
tidak dapat dipisahkan, dalam menjalankan kegiatan perekonomian jangan
hanya mencari keuntungan semata, tetapi penerapan etika bisnis yang bernilai
moral dan sosial harus diterapkan.
Economic rights and social responsibilities are two sides of
the same coin. That is why a year ago in Davos I proposed a
global compact between business and theUnited Nations. I
asked them to act, within their sphere of influence, according
to internationally accepted standards in the areas of human
rights, labour standards, and the environment --- and I
offered the services of the United Nations system to help
them do so.17

Dalam kerangka mitos bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai
permainan judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang dan
meraih keuntungan. Oleh karena itu, dalam persaingan bisnis yang semakin
ketat dan tajam, orang-orang cenderung mengejar laba maksimal dalam
jangka pendek. Dengan perilaku berorientasi pada laba sebesar-besarnya,
pelaku-pelaku ekonomi bisa kejam dan menyingkirkan etika. Mereka
berpendapat bahwa mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang
kurang menguntungkan untuk mengejar laba.

Dengan menawarkan konsep hukum ekonomi kerakyatan atau
kekeluargaan, yang dalam hal ini terkandung etika bisnis, mitos seperti
tersebut diatas harus diubah secara mendasar. Dalam konsep ini kegiatan
bisnis harus dianggap sebagai kegiatan manusiawi yang dapat dinilai dari
sudut pandang moral. Tujuan jangka panjang dari konsep ini diharapkan
didalam kehidupan masyarakat tertanam suatu pandangan atau menggugah
kesadaran pelaku-pelaku ekonomi agar tercipta suatu mitos bahwa
 pelaku ekonomi yang tidak mengindahkan moral justru akan berada dalam posisi
yang tidak menguntungkan di lingkungan masyarakat.

Para pelaku ekonomi harus sadar dan mengerti bahwa sasaransasaran
utama badan usaha pada dasarnya tidak hanya sekedar profitability
dan growth, tapi juga image. Pengembangan citra atau image building adalah
salah satu sasaran yang tidak terlepas dari tujuan jangka panjang setiap
institusi bisnis. Citra yang positif, baik di kalangan internal maupun pada
masyarakat umumnya merupakan ‘aset’ atau kekayaan yang tidak bernilai
yang senantiasa justru menjadi pusat perhatian utama dari pimpinan institusiinstitusi
dunia usaha.

Disamping itu, para pelaku usaha ekonomi harus tahu bahwa
berdasarkan riset telah terbukti perusahaan-perusahaan besar yang ratusan
tahun tetap survive sampai sekrang adalah perusahaan-perusahaan yang patuh
pada etika bisnis.

Untuk mendukung penegakan etika bisnis, sebenarnya Majelis
Permusyaearatan Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, didalamnya juga
mengatur tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalamnya juga mengatur
tentang etika ekonomi dan bisnis. Hal ini dimaksudkan agar prinsip dan
perilaku ekonomi baik perseorangan, isntitusi maupun pengambil keputusan
dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang
bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya
etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan
terciptanya Susana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak
kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan.

Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan
mengenai etika bisnis juga sangat diperlukan. Selain itu upaya-upaya untuk
menyelesaikan sengketa bisnis harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa
menghambat pertumbuhan ekonomi, upaya penyelesaian-penyelesaian
sengketa bisnis yang lebih dinamis dan bisa menjawab semua permasalahan
yang ada tanpa terpaku secara monoton pada pengadilan. Hal ini dijelaskan
oleh Lawrence Meir Freidmen,
Ultimately, if the Court cannot solve the problem and if the
problem does not vanish of its own accord (through a radical
change in popular tastes or levels of toleration), some
extrajudicial solution will have be reached.18

Dengan pedoman etika ini diharapkan mampu mencegah terjadinya
praktik-praktik monopoli, oligopoly, kebijakan ekonomi yang mengarah pada
perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negative terhadap efisiensi, persaingan sehat dan keadilan, serta
menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh
keuntungan.

D. PENUTUP
Kualitas pembangunan hukum ekonomi dipengaruhi oleh respon
bidang hukum terhadap tuntutan bidang ekonomi, kemampuan
mengharmonisasikan tekanan globalisasi hukum dan kepentingan rakyat, dan
tekanan sistem kapitalis di Indonesia. Oleh karena itu pembangunan ekonomi
harus dilakukan secara revolusioner dengan menetapkan terlebih dahulu
sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945, sehingga mampu menghasilkan sistem hukum ekonomi yang tidak
mengabdi pada Negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan
transnasional. Akan tetapi lebih kea rah berkualitas ‘kekeluargaan
(ukhuwah)’ atau kerakyatan dan mengabdi pada kepentingan rakyat, atau
sistem hukum ekonomi yang ditempatkan sebagai panglima yang tidak
sekedar menghandalkan pada rule of law tapi lebih mengarah pada rule of
moral atau rule of justice.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar