Jumat, 03 Mei 2013

REVIEW2/ STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA



STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI INDONESIA
Oleh: Nike K. Rumokoy
(Tinjauan Pustaka)
Nama: Fenita
NPM:22211809
Kelas:2EB09



B. TINJAUAN PUSTAKA
Reformasi substansi hukum ekonomi atau perombakan hukum
secara mendasar yang mempunyai kualitas ‘paradigmatik’, membutuhkan
perjalanan dan langkah-langkah politik yang tidak sederhana. Pembuatan
peraturan perundang-undangan dibidang ekonomi pada hakikatnya
merupakan kristalisasi pertempuran beberapa kepentingan yang didominasi
kekuatan politik dan kepentingan bisnis.

Disamping itu juga merupakan suatu pekerjaan teknis meramu
sistem hukum dan sistem ekonomi yang berlaku disuatu negara. Jelas bahwa
ditinjau dari teori hukum, fenomena tersebut mulai meninggalkan dalil bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang netral atau objektif. Sebagaimana
diketahui, dalil tersebut membawa roh paradigma positivisme hukum yang
kental. Menurut para penganut positivisme hukum, kepastian hukum hanya
akan terwujud jika hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan
otonom10 dari berbagai persoalan non legal lainnya.

Berkaitan dengan pengaruh sistem hukum dalam pembuatan produk
perundang-undangan dibidang ekonomi, pada saat sekarang ini sistem hukum
di Indonesia setidaknya sedang mengalami dua fenomena kolaboratif 
diametral yang acapkali tidak menunjukkan warna yang seirama. Fenomena
pertama adalah disatu sisi ‘tarikan dari atas dan kebawah terhadap sistem
hukum Indonesia’ oleh globalisasi hukum, dan di sisi adalah otonomi daerah.
Kedua tarikan ini tentunya memberikan pengaruh terhadap bidang hukum
ekonomi, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Adapun
fenomena kedua adalah ‘terjadinya disharmonisasi akibat dualisme sistem
hukum yang berlaku di Indonesia’, yaitu antara sistem hukum Eropa
Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon dan Common Law yang
mewarnai hukum ekonomi terkini.

Fenomena tarikan kebawah terhadap sistem hukum Indonesia dapat
dijelaskan sebagai berikut. Walaupun saat ini common law mendominasi
tradisi hukum di Indonesia, namun setelah Undang-Undang otonomi daerah
diberlakukan sejak tahun 2001, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam
ternyata semakin melihatkan identitasnya sebagai nilai-nilai yang patut
diperhitungkan kebangkitannya didaerah-daerah tertentu. Diera otonomi, elit
birokrasi sudah relative lebih memaham substansi Hukum Islam dan Hukum
Adat guna pencapaian pemenuhan kebutuhan dan visi daerahnya. Hal ini
tentunya tidak lain karena kedekatan kultural kedua sistem hukum dimaksud
yang dijumpai dan telah lama ada di keseharian kehidupan masyarakat
dimasing-masing daerah.

Masih hidupnya hukum adat ditengah-tengah masyarakat karena
inilah warna hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, lebih
mencerminkan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat sehingga masih
banyak masyarakat yang masih menggunanakan hukum adat menyelesaikan
setiap permasalahan hukum, hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Van
Volenhoven:
Indonesia Adat Law, ignorance of legal procedures on the
hand, and the cultural inclination to reach an out of court
settlement on the other, contribute signicantly to the absence
of a litigation culture. Van Volenhoven points out that there
was a countless number of disputes, but they were not
brought to court. People avoided the court.
…..Leaving the rural areas alienated from any litigation
culture.11

Disamping itu, saat ini beragam organisasi masyarakat (ormas)
maupun lembaga swadaya masyarakat (NGO) lebih banyak tersebar diseluruh
pelosok daerah sehingga kedua sistem hukum tersebut berpotensi
tersosialisasi secara cepat dan luas di tengah-tengah masyarakat. Munculnya
era desentralisasi menjadi faktor pendorong pula dalam merealisasikan keinginan dari bawah (daerah). Daerah-daerah yang sudah siap dengan sistem
desentralisasi dapat mewujudkan hukum Islam maupun Hukum Adat dengan
dua cara. Pertama, melalui otonomi khusus, yang tentunya dapat ditempuh
setelah mempunyai sandaran Ketetapan MPR (TAP MPR). Kedua, melalui
Peraturan Daerah (Perda), yang dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat
membuat Perda yang substansinya memperkokoh penegakan hukum terhadap
ketentuan Undang-Undang yang sudah berlaku. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tarikan dari bawah terhadap sistem hukum di Indonesia
terwujud dengan munculnya trend ‘mikro nasionalisme sistem hukum’ di
beberapa daerah di Indonesia.12

Mikronasionalisme sistem hukum yang dimaksud adalah
dimulainya orde hukum baru yang ditandai dengan bermunculannya
peraturan-peraturan lokal beserta derivasinya sebagai akibat dibukanya keran
otonomi daerah. Dewasa ini sudah diakui denga luas, betapa peraturab yang
lebih rendah dari Undang-Undang itu mampu membentuk ‘orde hukum’
tersendiri. Guna menumbuhkan sinergi antara orde Undang-Undang dan orde
peraturan lokal yang notabene merupakan bentuk tarikan kebawah terhadap
sistem hukum Indonesia, diperlukan upaya-upaya pengawasan hukum.
Namun ketika keterbatasan sistem pengawasan hukum formal yang
dijalankan Mahkamah Agung muncul sebuah kendala, maka pengawasan
hukum informal agaknya menjadi penting untuk dilakukan. Inilah tugas para
akademisi, yaitu para doctor, professor dan cendikiawan diberbagai kampus
di tanah air untuk menelurkan opinion doctorum.13 Sebuah upaya
pengawasan informal yang juga dapat dilakukan secara sinergis dengan
keterlibatan badan dan lembaga lain, seperti DPR, Lembaga Konsumen, Pers,
Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya.

Adapun tarikan dari atas pada sistem hukum di Indonesia berupa
pengaruh adanya globalisasi hukum terjadi melalui standarisasi hukum,
antara lain, melalui perjanjian-perjanjian multilateral. Dalam hal ini hukum
berusaha untuk melintasi atau membongkar hambatan ruang dan waktu,
dengan menisbikan perbedaan sistem hukum. Globalisasi hukum merupakan
gelombang kedua yang membawa kepentingan ekonomi global yang
dikembangkan melalui prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization)
atau perdagangan bebas (free trade) lainnya. Oleh karenanya, ketika
globalisasi hukum ini melegitimasi arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dalam suatu kesepakatan keseragaman hukum maka
gelombang globalisasi ekonomi dan globalisasi hukum ini sulit untuk ditolak
dan harus diikuti.

Tarikan magnet globalisasi hukum dan globalisasi ekonomi ini
saling terkait dan tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan ketika
globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi yang notabene merupakan
muatan yang dikandungnya, maka substansi berbagai undang-undang dan
perjanjian-perjanjian tersebut menyebar melewati batas-batas Negara (crossborder).
Kondisi demikian sekaligus mengubah pandangan kaum positivis
kearah pandangan Lawrence Meir Freidman, yang menyatakan bahwa hukum
itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap
waktu terhadap pengaruh dari luar. Pada tahap ini dapat dipahami bahwa
globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang
sangat besar pada bidang hukum.

Negara-negara didunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi
dan perdagangan bebas itu, baik Negara maju, maupun Negara sedang
berkembang, bahkan Negara yang terbelakang harus membuat standarisasi
hukum dalam kegiatan ekonominya. Sebagimana dijelaskan sebelumnya,
disepakatinya GATT-PU telah membawa konsekwensi Negara-negara
anggota kehilangan kedaulatan untuk membuat perundang-undangan dalam
bidang ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan, penanaman
modal (investasi), jasa dan bidang hak kekayaan intelektual (HKI) dengan
semua ketentuan yang ada pada GATT-PU. Kondisi ini jelas akan
berpengaruh pada proses bekerjanya sistem hukum dalam masyarakat.

Perancang Undang-Undang, baik ditingkat pusat maupun daerah,
harus mampu mengakomodasi ‘tarikan kebawah dan ke atas’ pada sistem
hukum yang sekarang terjadi di Indonesia tersebut, yang kemudian secara
cerdas diramu dengan isi Pasal 33 UUD 1945. Jika pembuat Undang-Undang
berhasil melakukan langkah tersebut, produk peraturan dibidang ekonomi,
tidak saja mampu mengantisipasi tren perdagangan internasional dan
mengakomodasi kepentingan daerah, tetapi juga mampu merealisir amanat
konstitusi agar pertumbuhan ekonomi itu digunakan untuk kemakmuran
rakyat, bukan mengabdi pada kepentingan asing maupun konglomerat.

Selama ini banyak ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang ekonomi hanya sekedar mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD
1945 dalam pertimbangan hukum dengan diselimuti kata ‘mengingat’, tanpa
secara konsisten menindaklanjutinya dalam pasal-pasalnya, bahkan tidak
jarang kita melihat ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut tidak
sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya
Ayat (1), (2) dan (3). Ha demikian menunjukkan bahwa produk perundangundangan
tidak lebih dari tumpukan peraturan yang sarat kepentingan dan
telah kehilangan rohnya, yaitu nilai luhur yang dikandungnya. Oleh sebab itu,
sudah pada tempatnya jika didalam peraturan hukum dan perundangan terdapat bagian yang mampu mengalirkan nilai-nilai luhur tersebut. Bagian
itu adalah asas hukum yang akan memberikan orientasi yang jelas, hendak
kemana masyarakat sebagai adresat akan dibawa oleh hukum yang
mengaturnya.

Urgensi pendayagunaan asas hukum ini disampaikan oleh Satjipto
Rahardjo sebagai ‘nutrisi’14 yang akan menyuplai kebutuhan hukum, sistem
hukum dan sistem perundang-undangan. Dikatakan bahwa, sistem hukum itu
tidak hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris, melainkan juga
memiliki ‘’semangat ‘’. Undang-Undang Dasar kita misalnya, dengan tegas
mengatakan, bahwa Negara ini berdasarkan “kekeluargaan”. Maka,
kekeluargaan ini pulalah yang selanjutnya akan menjadi pegangan, landasan,
orientasi, serta prinsip besar yang dipakai dalam membangun sistem hukum
kita lebih lanjut. Oreintasi dan semangat kekeluargaan tersebut member
nutrisi bagi sistem hukum. Memang hukum juga membutuhkan nutrisi.
Seperti vitamin bagi manusia, demikian pula makna nilai-nilai yang
terkandung dalam asas hukum tersebut. Asas hukum memberikan nutrisi
kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya merupakan
bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan yang sarat dengan nilai
dan mempunyai filsafat, serta semangatnya sendiri.

Menurut Profesor M.P. Jain, LL.M., Law has become the
instrument of social change. Law is needed for taking any action affecting
any’s body’s person, property or any right. The demand for law is practically
insatiable today.15 Untuk itu diperlukan pranata-pranata hukum yang
memiliki nilai-nilai keadilan dan keseimbangan sehingga kegiatan
perekonomian bisa berjalan dan berkembang dengan baik.

Pada era reformasi sebenarnya pemerintah bersama badan
legislative telah banyak menghasilkan perundang-undangan dibidang
ekonomi. Namun demikian keberadaan peraturan perundang-undangan yang
dimaksudkan untuk mendukung bidang ekonomi ternyata belum mampu
berperan optimal untuk menciptakan suasana kondusif bagi investor,
meningkatkan kehadiran investasi asing, dan menopang perumbuhan
ekonomi dalam rangka mengurangi angka penganguran, maupun menekan
angka kemiskinan. Mencermati hal ini, pandangnan Satjipto Raharjo
mengenai asas hukum patut mendapatkan perhatian.

Pernyataan yang hendak dijawab ialah mengapa dengan semakin
kompleknya pengaturan dibidang ekonomi tidak memberikan efek yang
signifikan terhadap indicator keberhasilan ekonomi sebagaimana diharapkan?
Adakah terdapat substansi yang masih keliru dalam pengaturan perundang
dibidang ekonomi yang dimaksud? Berkenaan dengan pendayagunaan
hukum, maka ketika hukum terus dikembangkan seiring perkembangan
zaman, disinilah menurut hemat Penulis peran asas hukum untuk memberikan
tuntunan mengenai teknis metodologis dan arahan yang dituju oleh sistem
yang sedang dikembangkan tersebut. Katakanlah jika asas kekeluargaan
merupakan asas yang diletakkan para arsitek UUD, pada tahap
selanjutnyatidak seharusnya pengembangan hukum dan sistemnya
meniadakan asas demikian. Dengan kata lain, jika pengembangan hukum dan
pembuatan Undang-Undang justru melenceng meninggalkan jalur asas
hukum yang dilandaskan oeh para pendiri bangsa, maka ekses dan akibat
yang berwujud kekacauan dalam sistem hukum merupakan konsekuensi logis
yang harus dipertanggungjawabkan.

Konsep asas hukum sebagai nutrisi sistem hukum dan Undang-
Undang sebagai produk hukum yang dihasilkannya, pada tahap selanjutnya
juga berkaitan erat dengan pola dan kualitas penagakan hukumnya. Menurut
Mochtar Kusuma Atmadja16, yang menjadi masalah utama di Indonesia dan
banyak dikeluhkan oleh investor asing adalah kepastian hukum, baik
mengenai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang didalamnya
ditemukan banyak hal yang masih tidak jelas dan saling bertentangan,
maupun mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.

Menurut Erman Rajagukguk, ketidakpastian hukum akan
berpengaruh pada perekonomian. Ada 3 (tiga) factor yang menjadi penyebab
tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu pertama, hirarki peraturan
perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi
yang diatur, kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan, dan ketiga,
penyelesaian sengketa-sengketa dibidang ekonomi tidak bisa diramalkan.

Oleh karena itu, menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin
cepat, kompleks dan unpredictable, substansi hukum ekonomi di Indonesia
disamping harus mampu menjamin adanya kepastian hkum khususnya
adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai
tingkat peraturan daerah, dan membatalkan peraturan daerah yang
menghambat investasi, melakukan keberpihakan kepada rakyat miskin,
reformasi peraturan perpajakan, juga harus mampu melakukan refleksivitas
dengan langkah manageable, available, workable, and interwoven easily with
all aspect of social life, jika hal ini tidak dilakukan maka hukum ekonomi
semakin mengalami alinasi di masyarakat, seperti yang tengah terjadi
sekarang ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar