REVIEW
2
Dampak
Kebijakan Energi Terhadap Perekonomian Di Indonesia : Model Komputasi
Keseimbangan Umum
Oleh:
Agus
Sugiyono
(Kerangka
Teoritis)
Nama: Fenita
NPM : 22211809
Kelas: 2EB09
2.
Kerangka Teoretis
Penelitian
tentang dampak kebijakan energi di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian
yang pernah dilakukan adalah kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM)
terhadap perekonomian dengan menggunakan model ekonometri (Hope dan Sigh 1995).
Keterkaitan antara energi dan perekonomian sangat besar sehingga ada
kecenderungan untuk menggunakan model multi-sektoral untuk menganalisis
kebijakan. Model CGE merupakan salah satu bentuk model multi-sektoral yang
sudah secara luas digunakan saat ini. Meluasnya penggunaan model CGE didukung
oleh perkembangan teknologi komputasi dan juga oleh kenyataan bahwa model ini
memungkinkan untuk menganalisis perbedaan dampak antar sektor produksi dan
antar kelompok sosial ekonomi (Devarajan dan Robinson 2002).
Saat
ini model CGE sudah umum digunakan baik di negara maju maupun negara berkembang
untuk menganalisis dampak external shock atau kebijakan ekonomi terhadap
struktur perekonomian atau distribusi kesejahteraan. Berbagai kebijakan
seperti: kebijakan perdagangan bebas, kebijakan integrasi regional, kebijakan
deregulasi, kebijakan lingkungan dan kebijakan energi dapat dianalisis
menggunakan model CGE.
2.1.
Tinjauan Pustaka
Model
CGE merupakan evolusi yang panjang dari teori ekonomi, matematika ekonomi dan
teknik komputasi. Fondasi teoritis dari model ini adalah Hukum Walras. Hukum
Walras kemudian dikembangkan oleh Arrow dan Debrew menjadi model keseimbangan
umum. Aplikasi secara numerik dan empiris dari model keseimbangan umum disebut
model Applied General Equilibrium (AGE) atau model Computable General
Equilibrium (CGE). Dalam disertasi ini untuk selanjutnya digunakan istilah
model CGE atau model komputasi keseimbangan umum. Model CGE pertama kali
dikembangkan oleh Johansen pada tahun 1960 yang merupakan model pertumbuhan
multi-sektor untuk Norwegia (Bandara 1991, Pogani 1996, Hosoe 1999:4). Survei
tentang penggunaan model CGE sudah banyak dilakukan, misalnya: Bandara (1991)
untuk penggunaan model di negara-negara berkembang, Bergman (1988) untuk
menganalisis kebijakan energi, Wajsman (1995) untuk mengevaluasi kebijakan
lingkungan, Bergman dan Henrekson (2003) untuk kebijakan lingkungan dan
manajemen sumber daya. Pembuatan model CGE secara rinci dibahas dalam Lofgren
dkk. (2002) dan Hosoe dkk. (2004).
Beberapa
tahapan dalam pengembangan model CGE dibahas oleh Bandara (1991), Hulu (1995),
serta Bergman dan Henrekson (2003). Secara umum pengembangan model CGE dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
•
Model Johansen
Johansen
mengembangkan model CGE dalam bentuk model linier simultan. Model ini
memfokuskan pada analisis pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural untuk
jangka panjang. Model CGE untuk Australia dikembangkan berdasarkan model ini
dan dinamakan Model Orani.
•
Model Scarf
Scarf
mengembangkan algoritma yang disebut fixed point theorem untuk menyelesaiakan
model CGE. Dengan algoritma ini Shoven dan Whalley berhasil membuat prosedur
untuk menghitung keseimbangan umum untuk pajak pada tahun 1983. Tradisi dalam
pengembangan model dari Scarf, Shoven dan Whalley lebih menekankan pada
pengaruh kebijakan ekonomi terhadap efisiensi dan distribusi.
•
Model Jorgenson
Model
yang dikembangkan oleh Jorgenson secara sistematis menggunakan metode
ekonometri untuk mengestimasi parameter. Tidak seperti pada model CGE sebelumnya
yang menggunakan cara kalibrasi dalam mengestimasi parameter. Meskipun
pendekatan secara ekonometri mempunyai beberapa kelebihan tetapi ada beberapa
kekurangannya. Pertama, data yang dibutuhkan merupakan data runtun waktu yang
panjang sehingga kemungkinan tidak tersedia di negara-negara berkembang.
Kedua,
bentuk fungsi yang digunakan tidak terkontrol perilakunya sehingga model tidak
dapat memperoleh solusi khususnya untuk model yang cukup besar.
•
Model Adelman dan Robinson
Model
CGE yang dikembangkan oleh Adelman dan Robinson merupakan model dalam bentuk
persamaan simultan nonlinier. Solusi yang diperoleh berupa harga bayangan
(shadow price) yang dapat diinterpretasi sebagai harga dalam keseimbangan umum.
Pengembangan model ini selanjutnya menjadi model standar yang banyak digunakan
oleh World Bank.
Pembuatan
dan penggunaan model ekonomi di sektor energi sudah menjadi tradisi yang
panjang. Perencanaan operasi dan investasi dengan menggunakan model optimasi
sudah banyak digunakan untuk industri kelistrikan maupun industri perminyakan.
Seiring dengan makin meningkatnya perhatian masyarakat dalam hal kebijakan
energi maka pada awal tahun 1970 mulai dikembangkan model yang dinamakan model
sistem energi. Sebagai contoh yaitu model yang dikembangkan oleh Nordaus (1973)
dan model Markal yang dikembangkan oleh International Energy Agency (Bergman
1988). Model ini merupakan model keseimbangan parsial untuk sektor energi dan
dinyatakan dalam bentuk linier programming. Permintaan energi merupakan variabel
eksogen sebagai masukan model dan variabel endogen, yang akan ditentukan berdasarkan
optimasi, dapat berupa ekstraksi sumber energi, konversi dan
distribusi
energi. Optimasi biasanya dilakukan dengan fungsi obyektif
meminimumkan
total biaya sistem. Nordaus (1973) menggunakan model tersebut untuk menentukan
alokasi yang efisien dari sumber energi untuk jangka panjang. Dalam model,
dunia dibagi menjadi beberapa wilayah dengan ketersediaan sumber energi yang sesuai
untuk masing-masing wilayah. Solusi optimal menunjukkkan bahwa pada tahun dasar
harga energi sesuai dengan harga pasar kecuali untuk harga BBM. Model sistem
energi tersebut di atas mempunyai representasi teknologi energi yang sangat
rinci tetapi tidak mempunyai keterkaitan dengan perekonomian. Sehingga model
tersebut tidak dapat digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan energi di
sisi penawaran terhadap harga maupun perekonomian secara nasional. Untuk
mengatasi kelemahan ini dikembangkan model energi-ekonomi yang berdasarkan
teori keseimbangan umum dan teori pertumbuhan ekonomi Neoklasik. Model dari
Hudson dan Jorgenson (1975) dan model Eta-Macro (Manne dkk. 1979) merupakan
pelopor pembuatan model ini. Model tersebut dapat dikategorikan sebagai model
CGE. Struktur model CGE untuk analisis kebijakan energi tidak jauh berbeda dengan
model CGE pada umumnya. Dalam model CGE energi, representasi dari substitusi
antara beberapa input harus lebih mendapat perhatian yang lebih serius.
Disamping itu, adanya kendala sumber daya energi dan kebijakan yang berorientasi
pada penggunaan teknologi baru maka model harus bersifat intertemporal dan
perilaku investasi secara umum maupun di sisi penawaran energi harus
diperhatikan. Benjamin dan Devarajan (1985) menggunakan model CGE dengan fungsi
produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis dampak kenaikan penerimaan ekspor
minyak bumi. Model dikalibrasi dengan menggunakan Tabel Input- Output tahun
1980 dan menunjukkan bahwa kenaikan ekspor minyak menjadi penyebab gagalnya
pembangunan (Dutch Disease). Bergman (1990) menggunakan model CGE yang
dikalibrasi dengan menggunakan social accounting matrix (SAM) tahun 1985 untuk
Swedia. Model ini digunakan untuk menganalisis dampak penutupan PLTN
(Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) dengan mempertimbangkan emisi SO2 dan NOx.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penutupan PLTN akan menurunkan PDB sekitar
3-4% serta diiringi
dengan
kenaikan harga listrik. Bohringer (1998) menggunakan model CGE dengan
mempertimbangkan sektor energi secara rinci sebagai aktivitas bottomup, sedangkan
sektor lain dinyatakan sebagai aktivitas top-down. Model ini digunakan untuk
menganalisis kenaikan harga bahan bakar untuk pembangkit listrik. Hasil
menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan bakar akan menurunkan permintaan dan
penawaran serta terjadi efek substitusi antar bahan bakar. Model CGE dasar yang
dikembangkan berdasarkan model Arrow-Debreu
merupakan
model statik karena tidak secara eksplisit memasukkan waktu. Model statik
mempunyai kelemahan terutama untuk menganalisis kebijakan yang dampaknya akan
berlangsung untuk periode yang cukup panjang. Beberapa model CGE dinamik telah
dikembangkan. Secara umum ada dua mekanisme yang sering digunakan untuk membuat
model CGE statik menjadi model dinamik, yaitu mekanisme rekursif dinamik dan
mekanisme
optimasi
dinamik (Yang 1999). Dalam mekanisme rekursif dinamik, proses optimasi
merupakan pengulangan dari model statik untuk tahun dasar. Model diselesaikan
secara rekursif untuk setiap periode secara terpisah. Antar periode dihubungkan
dengan variabel eksogen seperti pertumbuhan kapital dan tenaga kerja. Sedangkan
mekanisme optimasi dinamik berdasarkan model pertumbuhan Ramsey yang
mempertimbangkan pelaku ekonomi melakukan optimasi tidak hanya pada saat ini
tetapi juga mempertimbangkan masa depan. Devarajan dan Go (1998) serta Yang
(1999) menggunakan optimasi dinamik. Dengan mekanisme ini proses komputasi
menjadi kendala dan model CGE yang dinamik dengan mekanisme ini masih dalam
tahap pengembangan. Resosudarmo (2003) menggunakan mekanisme rekursif dinamik
dengan memperimbangkan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja.
2.2.
Landasan Teori
Seperti
telah disebutkan sebelumnya bahwa model CGE secara teoritis berdasarkan teori
keseimbangan umum dari Walras dan secara formulasi matematis menggunakan model
yang dikembangkan oleh Arrow dan Debreu. Interaksi antar pasar merupakan dasar
untuk formulasi model CGE. Model CGE yang sederhana mempunyai tiga komponen
dasar yaitu: konsumen, produsen, dan pasar seperti dinyatakan pada Gambar 1.
Konsumen (atau rumah tangga) menentukan permintaan komoditas dan penawaran endowment
berdasarkan prinsip memaksimumkan utilitas. Produsen (atau perusahaan)
menentukan permintaan input dan penawaran output berdasarkan prinsip
memaksimumkan keuntungan. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran dicapai
berdasarkan perilaku optimisasi dari pelaku ekonomi yang
menyebabkan
terjadinya penyesuaian harga.
Model
CGE secara teoritis merupakan model statis dengan asumsi bahwa pasar
berkompetisi sempurna dan produksi bersifat constant return to scale. Untuk memahami
kerangka dasar dari model CGE digunakan contoh model sederhana untuk negara
kecil dengan perekonomian tertutup. Misalkan ada dua komoditas yaitu X1 dan X2
dan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja dan modal. Setiap komoditas
diproduksi oleh satu perusahaan dengan input tenaga kerja dan modal. Rumah
tangga mengkonsumsi komoditas tersebut dengan memaksimumkan utilitas. Rumah
tangga memperoleh pendapatan dari endowment berupa tenaga kerja dan modal yang
digunakan oleh perusahaan. Harga dari semua komoditas dan faktor produksi dapat
mudah menyesuaikan sehingga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat
tercapai. Pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker yang tidak mempunyai kekuatan
untuk menentukan harga pasar. Dalam model ini perdagangan
internasional,
investasi, dan intermediate input tidak diperhitungkan. Hubungan antara rumah
tangga, perusahaan, dan pasar dirangkum dalam Gambar 2 dengan melihat aliran
komoditas dan faktor produksi.
Gambar 2. Struktur Model Sederhana
2.3. Hipotesis
Sektor energi terus
berkembang seiring dengan terus meningkat konsumsi energi. Konsumsi energi
final (termasuk penggunaan biomasa) meningkat dari sebesar 778 juta SBM (Setara
Barel Minyak) pada tahun 2000 menjadi sebesar 916 SBM pada tahun 2007 atau
meningkat rata-rata sebesar 2,3% per tahun. Pada tahun 2007 penggunaan terbesar
adalah sektor rumah tangga dengan pangsa sebesar 34% diikuti oleh sektor
industri 33%, transportasi 20%, komersial dan sebagai bahan baku masing-masing
3% dan sisanya sekitar 7% untuk penggunaan lainnya (Gambar 3).
Penyediaan energi
primer juga terus meningkat dari sebesar 978 jut SBM pada tahun 2000 menjadi
sebesar 1.231 juta SBM pada tahun 2007 ata meningkat sekitar 3,3% per tahun.
Pada tahun 2007 pangsa penyediaan energi yang terbesar adalah minyak bumi
dengan pangsa 39% dan diikuti oleh batubara 21%, gas bumi 15%, tenaga air 2%,
panas bumi 1% dan sisanya 22% adalah energi non-komersial biomasa untuk rumah
tangga pedesaan (Gb. 4)
Kondisi sumber daya
energi di Indonesia yang tidak dapat diperbaharui, terutama minyak bumi, saat
ini sudah cukup kritis. Laju penemuan cadangan minyak bumi lebih rendah dari
pada laju konsumsinya. Bila tidak diketemukan cadangan baru, maka impor minyak
bumi dan BBM akan semakin meningkat tajam. Data dari Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral (DESDM) tahun 2007 menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi
sebesar 8,4 x 109 SBM. Cadangan gas bumi sebesar 165 TSCF (Tera Standard Cubic
Feet). Sedangkan batubara mempunyai cadangan sebesar 18,8 x 109 TCE (Ton Coal
Equivalent). Secara ringkas cadangan dan produksi untuk sumber energi fosil
ditunjukkan pada Tabel 1. Bila dilihat dari rasio cadangan dibagi produksi (R/P
Ratio) maka batubara masih mampu untuk digunakan selama 105 tahun. Sedangkan
gas bumi dan minyak bumi mempunyai R/P Ratio masing-masing sebesar 55 tahun dan
17 tahun.
Tabel 1. Cadangan dan
Produksi Sumber Energi Fosil
Sumber daya energi
terbarukan yang mempunyai potensi dikembangkan untuk skala besar adalah tenaga
air dan panas bumi. Potensi tenaga air di seluruh Indonesia diperkirakan
sekitar 75.670 MW yang tersebar pada 1.315 lokasi. Potensi panas bumi yang
mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah sebesar 27.000 MW. Sektor energi
perlu dikembangkan melalui kebijakan yang kondusif dan didukung oleh
kemandirian finansial, teknologi dan sumber daya manusia. Dengan kebijakan ini
diharapkan pengembangan sektor energi dapat mendukung pembangunan yang
berkelanjutan. Makalah ini akan membahas pengaruh kebijakan energi terhadap
perekonomian secara keseluruhan dengan menggunakan simulasi kebijakan dalam
model CGE. Kebijakan energi yang akan dianalisis adalah substitusi dari
penggunaan energi migas ke penggunaan energi lainnya. Hipotesis yang diajukan
adalah:
• Ada pengaruh yang
positip dari substitusi penggunaan minyak bumi terhadap pendapatan nasional.
• Ada pengaruh positip
dari substitusi penggunanaan minyak bumi terdapat distribusi pendapatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar